Otoritas
Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan istilah OJK, adalah sebuah lembaga
pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi industri perbankan,
pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.
Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari
ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi
di sektor perbankan dan keuangan lainnya.
Jasa keuangan adalah
suatu istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang
disediakan oleh industri keuangan. Jasa keuangan juga digunakan untuk merujuk pada organisasi yang menangani pengelolaan dana dan penggunaan
produk jasa keuangan oleh konsumen.
Dengan adanya pemanfaatan
produk-produk jasa keuangan, individu/rumah tangga dapat mengatur dan menjaga
kondisi keuangannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya yang dalam
tataran yang lebih luas dapat mempersempit kesenjangan penghasilan, sehingga
dapat meningkatkan ketahanan keuangan pada level individu yang dalam jumlah
yang lebih besar dapat menjaga stabilitas sistem keuangan. Jasa layanan
keuangan yang dimaksud dapat berupa produk dasar perbankan seperti tabungan,
deposito, pembiayaan/kredit atau juga produk asuransi.
Dari segi penyedia jasa
keuangan sendiri seperti bank, peningkatan akses layanan jasa keuangan kepada
masyarakat tentunya dapat meningkatkan basis dana pihak ketiga dari masyarakat
retail. Hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan perbankan dari dana
korporasi sebagai sumber utama dana pihak ketiga. Ketergantungan terhadap dana
korporasi dapat meningkatkan risiko likuiditas ketika korporasi tersebut
menarik dananya dari bank seperti yang terjadi pada krisis tahun 2008. Dengan memperluas
basis dana pihak ketiga dari masyarakat retail, maka perbankan dapat
meningkatkan ketahanan dari penarikan sejumlah dana oleh nasabah korporasi.
Bagaimana kondisi
keuangan inklusif di Indonesia saat ini?
Berdasarkan data Global
Financial Inclusion Index, World Bank tahun 2011, Proporsi penduduk diatas 15
tahun yang telah memiliki rekening pada institusi keuangan formal hanya
berkisar 20% dari populasi yang berusia diatas 15 tahun. Angka ini tergolong
yang terendah jika dibanding dengan negara-negara tetangga sekawasan seperti
Malaysia yang mencapai 67%, Vietnam (21%), Filipina (27%), Thailand (78%),
India (35%), dan Tiongkok (63%). Sementara berdasarkan hasil Survey Nasional
Literasi Keuangan OJK tahun 2013, indeks literasi Indonesia terhadap industri
perbankan menunjukkan angka 22%. Angka ini berarti dari setiap 100 penduduk
Indonesia, hanya 22 orang yang memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap
produk perbankan. Menariknya, dari survey yang sama, indeks utilitas produk dan
jasa perbankan oleh masyarakat mencapai 57% yang berarti 57 orang dari setiap
100 penduduk telah memanfaatkan produk dan jasa perbankan. Dari hasil survey
OJK tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan
produk dan jasa perbankan tanpa adanya pemahaman yang memadai.
Kemudian dari segi deposit
terhadap PDB pada tahun 2011, Indonesia juga menempati posisi terendah
dibanding negara kawasan yakni di angka 43%, sementara Malaysia mencapai 131%,
Vietnam (136%), Filipina (42%), Thailand (79%), India (68%). Begitu pula dari
segi penyaluran kredit terhadap PDB Indonesia yakni di angka 32% hanya lebih
tinggi dibanding Filipina yang hanya mencapai 21%, namun masih yang terendah
jika dibanding dengan Malaysia yang mencapai 104%, Vietnam (136%), Thailand
(95%), India (52%), dan Tiongkok (127%). Kondisi rendahnya deposit dan penyaluran
kredit terhadap perekonomian tersebut tentu diakibatkan oleh masih belum
luasnya cakupan akses masyarakat Indonesia kepada layanan jasa keuangan formal
seperti perbankan.
Bagaimana contoh penerapan branchless banking di negara berkembang?
Branchless
banking sendiri telah diimplementasikan di sekitar 60 negara. Sebagai contoh
kisah sukses branchless banking di Kenya yang dikenal dengan nama M-Pesa.
M-Pesa merupakan teknologi mobile money yang dikembangkan oleh perusahaan
operator seluler Kenya yang bernama Safaricom yang menggandeng Equity Bank.
M-Pesa telah mentransformasi warga miskin yang sebelumnya tidak tersentuh bank
kini telah mampu melakukan berbagai transaksi keuangan. Dengan M-Pesa ini warga
miskin Kenya tersebut bisa menabung, mengirim uang kepada keluarga, membayar
uang sekolah anak, memperoleh pinjaman jangka pendek, bahkan membeli asuransi
hanya dengan SMS. M-Pesa hingga tahun 2013 telah menjaring 17 juta users,
bahkan sekitar 25% dari PDB Kenya mengalir melalui M-Pesa (Economist, 2013). Model
bisnis M-Pesa ini sama dengan model branchless banking pada umumnya yang
menggunakan peran agen. Jadi hasil transfer uang melalui M-Pesa misalnya dapat
diperoleh di agen tersebut.
Model mobile money juga telah diimplementasikan di negara
tetangga Filipina dengan dua pemrakarsa yakni Smart Money yang diluncurkan
tahun 2001 dan GCash yang diluncurkan tahun 2004. Bahkan GCash menurut majalah
Forbes telah menjadi pemimpin mobile money di Asia Tenggara dengan 2 juta
users. Selain itu masih banyak lagi contoh-contoh sukses penerapan model mobile
money lainnya seperti Wizzit di Afrika Selatan, Hello Paisa di Nepal, dan
lainnya.
Bagaimana implementasi branchless
banking di
Indonesia ?
Salah
satu bentuk branchless banking di Indonesia yang baru berkembang beberapa tahun
ini adalah electronic money (e-money). E-money yang telah dikeluarkan oleh
beberapa bank antara lain seperti kartu Flazz oleh Bank BCA; Bank Mandiri
dengan Indomaret Card, e-Toll card, Gaz card; Bank BRI yang mempunyai BRIZZI;
dan Bank DKI dengan JakCard yang juga bisa digunakan untuk TransJakarta; dan
ada juga inovasi rekening ponsel dari bank CIMB Niaga. Selain itu, e-money juga
ada yang dikeluarkan oleh institusi non-bank seperti Dompetku-nya Indosat,
T-Cash dari Telkomsel, Skye Card milik Skye Sab, XL tunai dari XL Axiata, dll.
Bahkan tiga operator seluler terbesar tersebut yakni Telkomsel, XL, dan Indosat
telah meluncurkan e-money interoperatorability atau layanan pengiriman uang
elektronik lintas operator pertama di dunia.
Sementara
program keuangan inklusif dari pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia
dikenal dengan program Layanan Keuangan Digital (LKD) yang telah selesai
dilakukan uji coba pada November 2013. Model LKD tersebut seperti yang
diilustrasikan pada gambar 3 dimana bank dapat melakukan kerjasama dengan
perusahaan telekomunikasi dan melalui agen. Pada tahap uji coba dari bulan
Mei-November 2013, program LKD ini mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari
masyarakat dan berhasil membuka 2.833 rekening dengan 8.978 transaksi.
Dari
segi regulasi, BI sendiri telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
No.16/8/2014 yang mengatur pelaksanaan program LKD bagi bank-bank termasuk juga
mengatur e-money. Program LKD ini dibagi kedalam empat tahap yakni konektivitas
dasar, LKD untuk transfer, LKD untuk full range service (menabung, kredit,
pelayanan asuransi), dan tahap keempat yakni digital in-store purchase dimana
mencakup transaksi untuk pasar modal dan e-commerce bagi pengusaha UMKM.
Serupa
denga LKD, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mempunyai program branchless
banking yang dinamai dengan Laku Pandai yang peraturannya akan dikeluarkan pada
akhir tahun 2014. Melalui program Laku Pandai ini, OJK menargetkan dapat mengumpulan
DPK sebesar Rp200 triliun dalam lima tahun.
Sumber:
Nama : Frely Revalno
Saukoly
NPM : 22211967
Kelas : 4EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar