Praktik akuntansi di Indonesia dapat
ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar abad 17 atau sekitar tahun 1642.
Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat di temui
pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Socitey
yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Belanda memperkenalkan sistem
pembukuan berpasangan (Double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan
oleh luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi
komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting dalam praktik
bisnis di Indonesia.
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan
meningkat cepat selama tahun 1800-an hingga awal tahun 1900-an. Hal ini
ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak
yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong
munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih.
Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907.
Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan
Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di
perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur. Intrernal auditor yang pertama
kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada
tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan
mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia
pada tahun 1907.
Pengiriman Van Schagen merupakan titik
tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara, Government Accountant Dienst yang
terbentuk pada tahun 1915. Akuntan publik yang pertama adalah Frese dan Hogeweg
yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. pendirian kantor ini
diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y. Voerens pada tahun
1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak - Belasting Accountant Dienst. Pada
era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik.
Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD. Massie,
yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21
September 1929.
Kesempatan bagi akuntan lokal
(Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari
Indonesia. Sampai tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa
Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari. Praktik akuntansi model Belanda masih
digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950-an). Pendidikan dan pelatihan
akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda.
Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki
Belanda dan pindahnya orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958
menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli. Atas dasar nasionalisasi dan
kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi
model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika
mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga
pemerintah.
Makin meningkatnya jumlah institusi
pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi, seperti pembukaan
jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institut Ilmu Keuangan
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1960,
Univeritas Sumatra Utara 1960, Universitas Airlangga 1960 dan Universitas Gajah
Mada 1964, telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan
model Amerika pada tahun 1960. Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga
mengadopsi sistem akuntansi model Amerika.
Pada pertengahan tahun 1980-an,
sekelompok teknokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi
dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih
kompetetif dan lebih berorentasi pada pasar, dengan dukungan praktik akuntansi
lebih baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari
investor asing dan lembaga-lembaga internasional. Sebelum perbaikan pasar modal
dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980-an dan awal 1990-an, dalam
praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan, satu
untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar
pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud
agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan
asing; dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak.
Pada awal tahun 1990-an, tekanan untuk
memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya
berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan
perilaku investor. Sekandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang
dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta Go
Public pada tahun 1990, tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang terjadi. Bank
Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau
underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta
mengeluarkan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kasus ini diikuti oleh
kasus Plaza Indonesia Realty (Pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber
(1993). Rosser mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan
keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya
transformasi pasar modal dari model “casino” mejadi model yang dapat memobilisasi
aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong
pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat
berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah
melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan (PSAK). Kedua,
pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (Work Bank) melaksanakan proyek
Pengembangan Akuntansi yang ditunjuk untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan
melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai
aturan berkaitan dengan akuntansi dalam UndangUndang Perseroan Terbatas.
Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan
keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal.
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun
1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas
pelaporan keuangan sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat, collapsenya
sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah
bekerja sama dengan IMF, melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat
yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini kesalahan secara tidak langsung diarahkan
pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi
(transparansi).
Di Indonesia, Komite
Prinsip Akuntansi (KPA) merumuskan Standar Akuntansi untuk di sahkan oleh
Pengawas Pusat Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) sebagai Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan berfungsi untuk
menyesuaikan dan menyusun laporan keuangan yang
di keluarkan oleh pihak ekstern. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, hubungan
dagang antarnegara pada masa – masa kerajaan di masa lalu seperti Majapahit,
Mataram, Sriwijaya, menjadi pintu masuk akuntansi dari negara lain ke
Indonesia. Meskipun demikian, belum terdapat penelitian yang memadai mengenai
sejarah akuntansi di Indonesia. Masa perkembangan akuntansi di Indonesia secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Kedatangan
bangsa Belanda di Indonesia akhir abad ke-16 awalnya untuk berdagang,
kemudian Belanda membentuk perserikatan maskapai Belanda yang dikenal dengan
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Pada tahun 1602, terjadi peleburan 14
maskapai yang beroperasi di Hindia Timur, yang selanjutnya di tahun 1619
membuka cabang di Batavia dan kota-kota lainnya di Indonesia. Perjalanan VOC
ini berakhir pada tahun 1799 dan setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih
oleh Kerajaan Belanda. Sejak masa itulah mulai tumbuh perusahaan-perusahaan Belanda
di Indonesia. Catatan pembukuan saat itu menekankan pada mekanisme debit dan
kredit berdasarkan praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan
Belanda.
Pada
masa ini, sektor us aha kecil dan menengah umumnya dikuasai oieh masyarakat
Cina, India, dan Arab yang praktik akuntansinya menggunakan atau dipengaruhi
oieh sistem dari negara mereka masing-masing. Pada masa penjajahan Jepang tahun
1942 sampai 1945, sistem akuntansi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu
tetap menggunakan pola Belanda.
2. Masa Kemerdekaan
Sistem
akuntansi yang beriaku di Indonesia mengikuti sejarah masa lampau dari masa
kolonial Belanda, maka sistem akuntansinya mengikuti akuntansi Belanda yang
dikenal dengan Sistem Tata Buku. Sistem Tata Buku ini merupakan subsistem
akuntansi atau hanya merupakan metode pencatatan.
Setelah
masa penjajahan Belanda berakhir dan masuk ke dalam masa kemerdekaan, banyak
perusahaan milik Belanda yang dirasionalisasi yang diikuti pula dengan masuknya
berbagai investor asing, terutama Amerika Serikat. Para investor tersebut
memperkenalkan sistem akuntansi Amerika Serikat ke Indonesia.
Akuntansi masa kini telah berkembang dalam tahap masa
kedewasaan menjadi suatu aspekintegral dari bisnis dan keuangan global.
Keputusan yang berasal dari data-data akuntansi, pengetahuan mengenai isu-isu
akuntansi internasional menjadi sangat penting untuk mendapatkan interpretasi
dan pemahaman yang tepat dalam komunikasi bisnis internasional.
Sejarah akuntansi dan akuntan, memperlihatkan perubahan yang
terus menerus secara konsisten. Pada suatu waktu, akuntansi lebih
mirip sistem pencatatan bagi jasa-jasa perbankan tertentu dan bagi
rencana pengumpulan pajak. Kemudian muncul pembukuan double entryuntuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan usaha perdagangan. Saat ini akuntansi beroperasi
dalam lingkungan perilaku, sektor publik dan Internasional. Akuntansi
menyediakan informasi bagi pasar modal-pasar modal besar, baik domestik maupun
internasional.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar