syalom


widget

welcome


widget

Selasa, 07 Juli 2015

PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN INDONESIA


Perkembangan standar akuntansi Indonesia dapat dikatakan dimulai pada zaman penjajahan belanda hingga merdeka pada tahun 1945 sampai dengan saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS. Dalam perkembangan standar akuntansi tersebut, Indonesia banyak melalui serangkaian perubahan dan beberapa pedoman penerapan mulai dari menggunakan standar dari bangsa belanda hingga sekarang telah menggunakan standar akuntansi internasional. Dalam tahap menuju kepada penerapan standar internasional, seperti telah dijelaskan di atas, Indonesia banyak melalui dan menggunakan beberapa pedoman atau standar keuangan. Berikut akan penulis jelaskan perkembangan akuntansi diindonesia mulai dari masa penjajahan lalu dengan menggunakan beberapa penyesuaian penerapan standar pada tahun-tahun selanjutnya hingga penerapan standar internasional:
     1.      Di Indonesia selama dalam penjajahan Belanda, tidak ada standar Akuntansi yang dipakai. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda. Dan Indonesia masih menggunakan standar gaya belanda ini hingga merdeka di tahun 1945 hingga tahun 1955.
     2.      Sampai Tahun 1955, Indonesia sudah mulai meninggalkan gaya belanda dan mulai beralih ke standar akuntansi amerika, tetapi Indonesia belum mempunyai undang – undang resmi / peraturan tentang standar keuangan.
      3.      Tahun 1974, tonggak sejarah awal Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan Prinsip Akuntansi di Indonesia (PAI). Tetapi Indonesia dengan PAI nya belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang standar tersebut.
   4.  Pada Tahun 1984 : Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar Akuntansi dan di terbitkan UU PAI.
   5.  Akhir Tahun 1984 : Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee)
       6.  Sejak Tahun. 1994 : IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS.  
     7.  Tahun 2008 : diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan. Dan Indonesia mulai mengacu pada standar IFRS atau dengan kata lain, Indonesia mulai mengadopsi standar internasional IFRS.
      8.      Tahun 2012 Indonesia secara penuh mengadopsi/konvergensi standar internasional IFRS.

Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.

Peranan SAK
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berperan dalam penetapan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan, atau dengan kata lain peranan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) mengarah pada perlakuan pencatatan akuntansi terhadap sumber-sumber ekonomi agar tiap bagiannya berada pada posisi yang benar dan tepat.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) juga dapat memberi pedoman bagi kita tentang bagaimana seharusnya sumber-sumber ekonomi dicatat dan bila terjadi perubahan bagaimana mencatatnya serta kapan perubahan tersebut dicatat dan bagaimana seharusnya kita menyususn dan menyajikan laporan keuangan.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) juga membantu menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pengungkapan jika terjadi penyimpangan dalam laporan keuangan yang disajikan. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) akan menjadi alat dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan yang mengantar kepada terciptanya sistematis informasi keuangan yang akurat dan dapat dipercaya sehingga dapat membantu para penentu keputusan dalam mengambil keputusan yang tepat bagi kelangsungan suatu usaha.

Konvergensi PSAK ke IFRS
Sesuai dengan roadmap konvergensi PSAK ke IFRS (International Financial Reporting Standart) maka Indonesia memasuki tahap persiapan akhir pada 2011 setelah sebelumnya melalui tahap adopsi (2008 – 2010). Hanya setahun saja IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menargetkan tahap persiapan akhir ini, karena setelah itu resmi per 1 Januari 2012 Indonesia menerapkan IFRS. Dengan adanya standar global tersebut memungkinkan keterbandingan dan pertukaran informasi secara universal. Konvergensi IFRS dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Adopsi standar internasional juga sangat penting dalam rangka stabilitas perekonomian.
Manfaat dari program konvergensi IFRS diharapkan akan mengurangi hambatan-hambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital. Sementara tujuan akhirnya laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) hanya akan memerlukan sedikit rekonsiliasi untuk menghasilkan laporan keuangan berdasarkan IFRS. Sasaran konvergensi IFRS tahun 2012 adalah merevisi PSAK agar sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012 dan konvergensi IFRS di Indonesia dilakukan secara bertahap.
Indonesia telah mengadopsi IFRS secara penuh pada tahun 2012, strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi ada dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh Negara-negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh Negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sumber:




Rabu, 06 Mei 2015

INDUSTRI KEUANGAN GLOBAL VS REGIONAL


Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan istilah OJK, adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya.

Jasa keuangan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang disediakan oleh industri keuangan. Jasa keuangan juga digunakan untuk merujuk pada organisasi yang menangani pengelolaan dana dan penggunaan produk jasa keuangan oleh konsumen.
Dengan adanya pemanfaatan produk-produk jasa keuangan, individu/rumah tangga dapat mengatur dan menjaga kondisi keuangannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya yang dalam tataran yang lebih luas dapat mempersempit kesenjangan penghasilan, sehingga dapat meningkatkan ketahanan keuangan pada level individu yang dalam jumlah yang lebih besar dapat menjaga stabilitas sistem keuangan. Jasa layanan keuangan yang dimaksud dapat berupa produk dasar perbankan seperti tabungan, deposito, pembiayaan/kredit atau juga produk asuransi.
Dari segi penyedia jasa keuangan sendiri seperti bank, peningkatan akses layanan jasa keuangan kepada masyarakat tentunya dapat meningkatkan basis dana pihak ketiga dari masyarakat retail. Hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan perbankan dari dana korporasi sebagai sumber utama dana pihak ketiga. Ketergantungan terhadap dana korporasi dapat meningkatkan risiko likuiditas ketika korporasi tersebut menarik dananya dari bank seperti yang terjadi pada krisis tahun 2008. Dengan memperluas basis dana pihak ketiga dari masyarakat retail, maka perbankan dapat meningkatkan ketahanan dari penarikan sejumlah dana oleh nasabah korporasi.

Bagaimana kondisi keuangan inklusif di Indonesia saat ini?
Berdasarkan data Global Financial Inclusion Index, World Bank tahun 2011, Proporsi penduduk diatas 15 tahun yang telah memiliki rekening pada institusi keuangan formal hanya berkisar 20% dari populasi yang berusia diatas 15 tahun. Angka ini tergolong yang terendah jika dibanding dengan negara-negara tetangga sekawasan seperti Malaysia yang mencapai 67%, Vietnam (21%), Filipina (27%), Thailand (78%), India (35%), dan Tiongkok (63%). Sementara berdasarkan hasil Survey Nasional Literasi Keuangan OJK tahun 2013, indeks literasi Indonesia terhadap industri perbankan menunjukkan angka 22%. Angka ini berarti dari setiap 100 penduduk Indonesia, hanya 22 orang yang memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap produk perbankan. Menariknya, dari survey yang sama, indeks utilitas produk dan jasa perbankan oleh masyarakat mencapai 57% yang berarti 57 orang dari setiap 100 penduduk telah memanfaatkan produk dan jasa perbankan. Dari hasil survey OJK tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan produk dan jasa perbankan tanpa adanya pemahaman yang memadai.
Kemudian dari segi deposit terhadap PDB pada tahun 2011, Indonesia juga menempati posisi terendah dibanding negara kawasan yakni di angka 43%, sementara Malaysia mencapai 131%, Vietnam (136%), Filipina (42%), Thailand (79%), India (68%). Begitu pula dari segi penyaluran kredit terhadap PDB Indonesia yakni di angka 32% hanya lebih tinggi dibanding Filipina yang hanya mencapai 21%, namun masih yang terendah jika dibanding dengan Malaysia yang mencapai 104%, Vietnam (136%), Thailand (95%), India (52%), dan Tiongkok (127%). Kondisi rendahnya deposit dan penyaluran kredit terhadap perekonomian tersebut tentu diakibatkan oleh masih belum luasnya cakupan akses masyarakat Indonesia kepada layanan jasa keuangan formal seperti perbankan.

Bagaimana contoh penerapan branchless banking di negara berkembang?
Branchless banking sendiri telah diimplementasikan di sekitar 60 negara. Sebagai contoh kisah sukses branchless banking di Kenya yang dikenal dengan nama M-Pesa. M-Pesa merupakan teknologi mobile money yang dikembangkan oleh perusahaan operator seluler Kenya yang bernama Safaricom yang menggandeng Equity Bank. M-Pesa telah mentransformasi warga miskin yang sebelumnya tidak tersentuh bank kini telah mampu melakukan berbagai transaksi keuangan. Dengan M-Pesa ini warga miskin Kenya tersebut bisa menabung, mengirim uang kepada keluarga, membayar uang sekolah anak, memperoleh pinjaman jangka pendek, bahkan membeli asuransi hanya dengan SMS. M-Pesa hingga tahun 2013 telah menjaring 17 juta users, bahkan sekitar 25% dari PDB Kenya mengalir melalui M-Pesa (Economist, 2013). Model bisnis M-Pesa ini sama dengan model branchless banking pada umumnya yang menggunakan peran agen. Jadi hasil transfer uang melalui M-Pesa misalnya dapat diperoleh di agen tersebut.
Model mobile money juga telah diimplementasikan di negara tetangga Filipina dengan dua pemrakarsa yakni Smart Money yang diluncurkan tahun 2001 dan GCash yang diluncurkan tahun 2004. Bahkan GCash menurut majalah Forbes telah menjadi pemimpin mobile money di Asia Tenggara dengan 2 juta users. Selain itu masih banyak lagi contoh-contoh sukses penerapan model mobile money lainnya seperti Wizzit di Afrika Selatan, Hello Paisa di Nepal, dan lainnya.

Bagaimana implementasi branchless banking di Indonesia ?
Salah satu bentuk branchless banking di Indonesia yang baru berkembang beberapa tahun ini adalah electronic money (e-money). E-money yang telah dikeluarkan oleh beberapa bank antara lain seperti kartu Flazz oleh Bank BCA; Bank Mandiri dengan Indomaret Card, e-Toll card, Gaz card; Bank BRI yang mempunyai BRIZZI; dan Bank DKI dengan JakCard yang juga bisa digunakan untuk TransJakarta; dan ada juga inovasi rekening ponsel dari bank CIMB Niaga. Selain itu, e-money juga ada yang dikeluarkan oleh institusi non-bank seperti Dompetku-nya Indosat, T-Cash dari Telkomsel, Skye Card milik Skye Sab, XL tunai dari XL Axiata, dll. Bahkan tiga operator seluler terbesar tersebut yakni Telkomsel, XL, dan Indosat telah meluncurkan e-money interoperatorability atau layanan pengiriman uang elektronik lintas operator pertama di dunia.
Sementara program keuangan inklusif dari pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia dikenal dengan program Layanan Keuangan Digital (LKD) yang telah selesai dilakukan uji coba pada November 2013. Model LKD tersebut seperti yang diilustrasikan pada gambar 3 dimana bank dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan telekomunikasi dan melalui agen. Pada tahap uji coba dari bulan Mei-November 2013, program LKD ini mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari masyarakat dan berhasil membuka 2.833 rekening dengan 8.978 transaksi.
Dari segi regulasi, BI sendiri telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.16/8/2014 yang mengatur pelaksanaan program LKD bagi bank-bank termasuk juga mengatur e-money. Program LKD ini dibagi kedalam empat tahap yakni konektivitas dasar, LKD untuk transfer, LKD untuk full range service (menabung, kredit, pelayanan asuransi), dan tahap keempat yakni digital in-store purchase dimana mencakup transaksi untuk pasar modal dan e-commerce bagi pengusaha UMKM.
Serupa denga LKD, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mempunyai program branchless banking yang dinamai dengan Laku Pandai yang peraturannya akan dikeluarkan pada akhir tahun 2014. Melalui program Laku Pandai ini, OJK menargetkan dapat mengumpulan DPK sebesar Rp200 triliun dalam lima tahun.

Sumber:


Nama   : Frely Revalno Saukoly
NPM   : 22211967
Kelas   : 4EB09

Senin, 06 April 2015

PERKEMBANGAN AKUNTANSI INDONESIA


Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar abad 17 atau sekitar tahun 1642. Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat di temui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Socitey yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Belanda memperkenalkan sistem pembukuan berpasangan (Double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia.
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800-an hingga awal tahun 1900-an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907. Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur. Intrernal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907.
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara, Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915. Akuntan publik yang pertama adalah Frese dan Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y. Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak - Belasting Accountant Dienst. Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD. Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929.
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari. Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950-an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda.
 Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli. Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah.
Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi, seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institut Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1960, Univeritas Sumatra Utara 1960, Universitas Airlangga 1960 dan Universitas Gajah Mada 1964, telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960. Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga mengadopsi sistem akuntansi model Amerika.
Pada pertengahan tahun 1980-an, sekelompok teknokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetetif dan lebih berorentasi pada pasar, dengan dukungan praktik akuntansi lebih baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan lembaga-lembaga internasional. Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980-an dan awal 1990-an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak.
Pada awal tahun 1990-an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Sekandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta Go Public pada tahun 1990, tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang terjadi. Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (Pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” mejadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
 Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan (PSAK). Kedua, pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (Work Bank) melaksanakan proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjuk untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam UndangUndang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal.
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF, melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparansi).
Di Indonesia, Komite Prinsip Akuntansi (KPA) merumuskan Standar Akuntansi untuk di sahkan oleh Pengawas Pusat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan berfungsi untuk menyesuaikan dan menyusun laporan keuangan yang di keluarkan oleh pihak ekstern. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, hubungan dagang antarnegara pada masa – masa kerajaan di masa lalu seperti Majapahit, Mataram, Sriwijaya, menjadi pintu masuk akuntansi dari negara lain ke Indonesia. Meskipun demikian, belum terdapat penelitian yang memadai mengenai sejarah akuntansi di Indonesia. Masa perkembangan akuntansi di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.    Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Kedatangan bangsa Belanda di Indonesia akhir abad ke-16 awalnya untuk berdagang, kemudian Belanda membentuk perserikatan maskapai Belanda yang dikenal dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Pada tahun 1602, terjadi peleburan 14 maskapai yang beroperasi di Hindia Timur, yang selanjutnya di tahun 1619 membuka cabang di Batavia dan kota-kota lainnya di Indonesia. Perjalanan VOC ini berakhir pada tahun 1799 dan setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Sejak masa itulah mulai tumbuh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Catatan pembukuan saat itu menekankan pada mekanisme debit dan kredit berdasarkan praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan Belanda.
Pada masa ini, sektor us aha kecil dan menengah umumnya dikuasai oieh masyarakat Cina, India, dan Arab yang praktik akuntansinya menggunakan atau dipengaruhi oieh sistem dari negara mereka masing-masing. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai 1945, sistem akuntansi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu tetap menggunakan pola Belanda.
2.   Masa Kemerdekaan                               
Sistem akuntansi yang beriaku di Indonesia mengikuti sejarah masa lampau dari masa kolonial Belanda, maka sistem akuntansinya mengikuti akuntansi Belanda yang dikenal dengan Sistem Tata Buku. Sistem Tata Buku ini merupakan subsistem akuntansi atau hanya merupakan metode pencatatan.
Setelah masa penjajahan Belanda berakhir dan masuk ke dalam masa kemerdekaan, banyak perusahaan milik Belanda yang dirasionalisasi yang diikuti pula dengan masuknya berbagai investor asing, terutama Amerika Serikat. Para investor tersebut memperkenalkan sistem akuntansi Amerika Serikat ke Indonesia.

Akuntansi masa kini telah berkembang dalam tahap masa kedewasaan menjadi suatu aspekintegral dari bisnis dan keuangan global. Keputusan yang berasal dari data-data akuntansi, pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi internasional menjadi sangat penting untuk mendapatkan interpretasi dan pemahaman yang tepat dalam komunikasi bisnis internasional.
Sejarah akuntansi dan akuntan, memperlihatkan perubahan yang terus menerus secara konsisten. Pada suatu waktu, akuntansi lebih mirip sistem pencatatan bagi jasa-jasa perbankan tertentu dan bagi rencana pengumpulan pajak. Kemudian muncul pembukuan double entryuntuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usaha perdagangan. Saat ini akuntansi beroperasi dalam lingkungan perilaku, sektor publik dan Internasional. Akuntansi menyediakan informasi bagi pasar modal-pasar modal besar, baik domestik maupun internasional.


Sumber:

Minggu, 04 Januari 2015

KODE ETIK PROFESI AKUNTANSI

1.     Kode Perilaku Profesional
Di Indonesia seorang akuntan, dalam menjalankan profesinya diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat.
Kode etik adalah aturan perilaku etika akuntan dalam memenuhi tanggung jawab profesinya. Pengertian ini dituangkan dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga IAI, yang menyebutkan bahwa “Kode etik IAI adalah aturan perilaku etika akuntan dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya yang meliputi prinsip etika akuntan, aturan etika akuntan, dan interpretasi aturan etika akuntan.”
Pengetahuan mengenai kode etik akuntan ini, didapat oleh seseorang akuntan dalam masa pendidikan profesi. Kode etik dalam perspektif pendidikan adalah perjanjian bersama mengenai tingkah laku dan perilaku yag diharapkan bisa dilaksanakan profesi dengan baik. Seorang akuntan dibekali pengetahuan untuk senantiasa dapat menjaga kode etik profesi dalam setiap tindakan sebagai seorang profesional. Kekuatan kode etik profesi pada dasarnya terletak pada para pelakunya, yaitu terletak didalam hati nuraninya. Jika para akuntan mempunyai integritas tinggi; jujur, independen, objektif dan professional, dengan sendirinya mereka akan menjalankan prinsip kode etik dan standar akuntan.
2.     Prinsip-Prinsip Etika: IFAC, AICPA, IAI
Prinsip etika profesi dalam kode etik menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggungjawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi.
Prinsip-prinsip kode etik menurut lembaga-lembaga yang mengaturnya;
  • ·    IFAC (The International Federation of Accountants)

   seorang akuntan dalam menjalani profesinya dituntut memiliki berbagai sikapseperti:
1.     Integritas
seorang akuntan harus memiliki sikap yang tegas dan jujur dalam semua hubungan bisnis profesional.
2.     Objektivitas
seorang akuntan melakukan tugasnya sesuai dengan objek tidak memandang subjek yang ia sedang melakukan penilaian secara independen.
3.     Kompetensi profesional dan Kesungguhan,
seorang akuntan harus berkompeten dan senantiasa menjaga ilmu pengetahuan dan selalu meningkatkan kemampuan agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan.
4.     Kerahasian,
seorang akuntan harus selalu menjaga dan menghormati kerahasiaan atas informasi klien yang ia lakukan pelayanan.
5.     Perilaku Profesional,
seorang akuntan harus taat akan hukum dan dilarang melakukan hal-hal yang membuat nama akuntan buruk.
  • ·        AICPA (American Institute of Certified Public Accountants)

  Seorang akuntan dalam menjalani profesinya dituntut memiliki berbagai sikap seperti:
1.     Tanggung Jawab
seorang akuntan sebagai profesional, harus menerapkan nilai moral serta bertanggung-jawab di setiap pelayanannya.
2.     Kepentingan Umum
seorang akuntan harus menerima kewajibannya untuk melayani publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen terhadap profesionalisme.
3.     Integritas
selalu mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik terhadapnya.
4.     Objektivitas dan Independensi
seorang akuntan harus mempertahankan objektibitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
5.     Due Care
seorang akuntan harus mematuhi standar teknis dan etis profesinya, selalu berusaha terus-menerus untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.
6.     Sifat dan Cakupan Layanan
seorang akuntan harus memperhatikan prinsip-prinsip dari kode etik profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan disediakan.
  • ·        IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)

  Seorang akuntan dalam menjalani profesinya dituntut memiliki berbagai sikap seperti:
1.     Tanggung Jawab
Dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai professional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesiaonal dalam senua kegiatan yang dilakukannya.
2.     Kepentingan Publik
Setiap anggota bekewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3.     Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggungjawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. Dimana Integritas merupakan suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan professional.
4.     Objektivtias
Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip objectivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak lain.
5.     Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan professional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klin atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa professional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6.     Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasian informasi yang diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban professional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7.     Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.     Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesional sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Standar teknis dan standar profesional  yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh IAI, IFAC, badan pengatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

3.     Aturan dan Interpretasi
Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.


Sumber: