syalom


widget

welcome


widget

Jumat, 03 Mei 2013

Review 4: Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia

Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia

Oleh:

Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta


JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455


Aspek-aspek socio-legal yang perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian serius dari Pemerintah dalam rangka Pembaruan Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia

Pendekatan sistem sebagai bagian dari teori manajemen, ketika dikonstruksikan ke dalam suatu pencapaian ide atau tujuan dirasakan sangat relevan dalam upaya menerangkan proses konsepsi ilmu secara menyeluruh. Pendekatan sistem sebagai suatu bentuk telaah manajerial secara umum juga dapat dimanfaatkan untuk menerangkan permasalahan hukum, baik ditingkat teori maupun dalam implementasinya. Dalam kerangka teori pendekatan sistem, secara mudah dapat dicerna melalui teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu bahwa hokum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social engineering), yaitu penggunaan hokum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.
 Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) elemen, pertama, stuktur hukum (legal stucture), kedua, substansi hokum (legal substantiance) dan ketiga, budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen legal system tersebut merupakan jalinan keterpaduan yang saling mengisi dan melengkapi. Dalam ilustrasi Friedman dijelaskan, “another way to visualize the three elements of law is to imagine legal ’stucture’ as a kind of machine. Substance is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machineon and off and determines how it will be used”.
Kerangka pemikiran Friedman di atas dari perspektif sistem cukup relevan untuk mencermati timbulnya fenomena tindak pidana ekonomi dalam kegiatan perekonomian. Apabila dicoba untuk mengamati hubungan antara hukum dengan ekonomi, maka sepintas lalu kelihatannya di antara keduanya tidak ada hubungan. Ekonomi sebagai suatu tindakan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan fisik lebih bisa dimasukkan ke dalam kategori das Sein. Hukum sebagai suatu system norma-norma yang dibuat untuk mendisiplinkan tingkah laku manusia termasuk ke dalam kategori das Sollen. Dengan cara pengelompokkan seperti itu, memang pengkajian mengenai hukum tidak akan bertemu dengan ekonomi, sebab pengkajian itu berkisar pada masalah penegasan mengenai makna logis yang setepatnya dari sistem hukum, sehingga hukum dapat dilihat sebagai sistem yang terpadu secara logis, bebas dari adanya kontradiksi-kontradiksi di dalam tubuh sistem itu.
Apabila hukum dilihat dari keberlakuannya secara empirik, maka di antara keduanya dapat dilihat adanya hubungan.33 Pertautan antara hukum dan ekonomi itu tampil, oleh karena apabila ditelaah keberlakuan empirik hukum, harus dapat dilihat perilaku manusia itu sebagaian didasari oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.34 Perbuatan seseorang yang tampak sebagai suatu kelakuan hukum, oleh karena kelakuan tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang diharuskan untuk itu, belumlah tentu apabila ia di dorong oleh motif untuk mentaati hukum.
Fakta timbulnya tindak pidana ekonomi merupakan kontribusi dari kondisi struktur, kultur, dan substansi yang kurang sehat menjadi tidak terbantahkan. Sebagai ilustrasi, maraknya penggunaan piranti bajakan di lingkungan adalah karena masyarakat begitu permisif dengan produk bajakan tersebut. Sebagian masyarakat mungkin mengetahui bahwa hak intelektual atas produk-produk asli dilindungi oleh undang-undang, namun karena kultur masyarakat kita yang enggan berperkara, maka mereka acuh melihat disekitarnya beredar piranti bajakan. Di samping itu kondisi struktur hukum yang tidak sehat seperti masih tingginya ego sektoral antar aparat penegak hukum, koordinasi yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional serta dukungan logistik yang tidak memadai juga turut berkontribusi bagi timbulnya tindak pidana ekonomi. Situasi seperti itu kadang diperkeruh dengan kualitas substansi undang-undang yang tidak dapat diterapkan (notapplicable) akibat adanya transplantasi hukum (legal transplantation).
Untuk mewujudkan harapan bahwa kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat menciptakan iklim yang akomodatif bagi kegiatan usaha, maka hukum seyogiyanya ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur, yang dinamakan fungsi integrasi. Oleh karena itu, meneruskan pemahaman kita mengenai sistem hokum sebagaimana diuraikan di muka, akan diamati proses saling pertukaran di antara sistem-sistem dalam bentuk hubungan masukan dan keluaran dengan hukum sebagai titik pusatnya.
Pada waktu terjadi tindak pidana ekonomi, maka hukum pidana ekonomi memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar pelanggaran itu diselesaikan. Pembiaran terhadap pelanggaran hukum itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatankekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran. Masukan-masukan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, masukan di bidang ekonomi. Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai suatu proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya pada waktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak, kewajibankewajiban, pertanggung jawaban, dan lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi tersebut. Contoh mengenai hal ini adalah Keputusan Hoge Raad mengenai perluasan penafsiran terhadap Pasal 1401 Bugerlijk Wetboek, yaitu mengenai perbuatan melawan hukum pada tanggal 31 Januari 1919.
Kedua, masukan bidang politik. Proses politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum, dalam hal ini pengadilan, menerima masukan dari sektor politik ini dalam bentuk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkret dan eksplisit tercantum dalam hokum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti bagi masukan tersebut, pengadilan memutuskan untukmemberikan legitimasinya (atau tidak) kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak menguji undang-undang.
Ketiga, masukan bidang budaya. Pertukaran yang terjadi di sini bisa dikatakan sebagai yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi tersebut di atas. Proses ini akan bekerja dengan cara mendorong rakyat untuk menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
Untuk memudahkan perumusan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat dikemukakan bagan sebagai berikut :




Penutup
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk terminologi hukum secara faktual mengalami perubahan pemaknaan dari waktu kewaktu. Secara substantif tindak pidana ekonomi berawal dari pelanggaran terhadap etika bisnis, selanjutnya berkembang menjadi pelanggaran hukum pidana ekonomi ketika substansi pelanggaran tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang ekonomi yang tersebar.
Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, masih menitik beratkan pada upaya kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum oleh SPP. Aktor-aktor non SPP belum diberdayakan secara maksimal dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi melalui upaya pencegahan.
Pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi membutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang meliputi kekuatan ekonomi, politik dan kebudayaan, sehingga dapat menciptakan suatu proses kerjasama yang produktif. Kekuatan-kekuatan dalam masyarakat tersebut selanjutnya diperinci dalam beberapa aspek socio-legal seperti Kebijakan sosial (yang dirumuskan dalam RPJM dan RPJP), Kebijakan social walfare/prosperity, Kebijakan social defence/security, Kebijakan hukum, Kebijakan hukum pidana ekonomi, dan Kebijakan hukum yang integral.
Dalam rangka menghadapi liberalisasi perdagangan dunia, maka diperlukan penataan hukum pidana ekonomi yang dapat merespon perkembangan internasional. Untuk itu diperlukan harmonisasi antara hukum pidana ekonomi dan hukum internasional dengan tetap memperhatikan kondisi nasional. Indonesia harus mampu menciptakan pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi yang akomodatif ke arah terciptanya masyarakat yang memiliki pemikiran era globalisasi perdagangan dunia.
Dalam rangka menciptakan suatu sistem hukum yang kondusif kondusif bagi kegiatan perekonomian, khususnya untuk merespon perkembangan politik dan perekonomian nasional serta internasional, perlu dibangkitkan budaya hukum yang responsif dengan memberikan kesempatan kepada berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan hukum.
Guna menciptakan hukum pidana ekonomi yang dapat mengakomodasi kepentingan hukum di satu sisi dan kepentingan perekonomian di sisi lain, maka dibutuhkan suatu kajian yang menyeluruh dan terintegrasi secara sistemik. Oleh karenanya diperlukan suatu rumusan hukum pidana ekonomi yang dapat diimplementasikan dalam suatu bentuk kebijakan. Pemenuhan terhadap cita-cita ini mensyaratkan adanya elaborasi yang terpadu secara lintas disiplin keilmuan, misalnya dari disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, hukum, lingkungan dll. Adanya elaborasi dari berbagai disiplin ilmu, diharapkan akan mampu menghasilkan suatu rumusan hokum pidana ekonomi yang komprehensif dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.


Sumber:

Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2013

Review 3: Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia


Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia

Oleh:

Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta


JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455


Tindak Pidana Ekonomi Merupakan Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi

Mengenai konsep hukum pidana ekonomi, beberapa pakar hukum telah mengemukakan pendapat, diantaranya adalah Andi Hamzah yang menyatakan:
bahwa hukum pidana ekonomi adalah bagain dari hukum pidana, yang mempunyai corak-corak tersendiri, yaitu corak ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap ketentuan hukum pidana yang mempunyai orientasi pengaturan di bidang ekonomi dapat dikategorikan sebagai hukum pidana ekonomi.
Bambang Poernomo mengemukakan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut:

“Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang pelanggaran dan atau kejahatan dalam bidang ekonomi. Tujuan diadakannya hukum pidana ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan megejar kemakmuran untuk seluruh rakyat”.

Menurut H.A.K Moch Anwar, hukum pidana adalah sekumpulan peraturanperaturan dibidang ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/ kewajiban dan atau larangan terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana ekonomi adalah seperangkat aturan yang mengatur tentang kejahatan dan atau pelanggaran aturan yang di ditetapkan oleh negara atau pemerintah dalam menata perekonomian ke arah terwujudnya kehidupan yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Hukum pidana ekonomi merupakan ultimum remedium atau disebut juga sebagai senjata pamungkas, serta sering juga dikemukakan oleh Muladi bahwa hukum pidana hanya bertindak sebagai “tentara sewaan”/merchanary, dimana pengertian ini bisa juga diartikan bahwa hukum pidana digunakan bukan hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri tetapi adalah untuk kepentingan tujuan yang lebih jelas yaitu untuk kepentingan ekonomi.
Apabila dilihat kepentingan ekonomi dan kepentingan hukum dihubungkan dengan tugas negara, maka hukum pidana ekonomi merupakan tugas negara untuk melaksanakan pengaturan atau regulator terhadap pencapaian tujuan ekonomi bagi negara. Akhir era perang dingin telah menempatkan politik didunia ke dalam satu arah yaitu timbulnya prinsip negara kesejahteraan. Negara secara hakiki dianggap bertanggungjawab dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada didalamnnya sehingga peran negara mengarah pada penciptaan perekonomian yang mendukung timbulnya kesejahteraan.
Seperti telah disinggung di atas, karena pidana ekonomi merupakan respon negara terhadap tanggung jawab pelaksanaan tugas negara di bidang ekonomi, maka negara berperan sebagai regulator. Dalam perannya sebagai regulator, negara melaksanakan kekuasaanya untuk mencapai situasi yang kondusif dan bukan lagi untuk mencapai kekuasaan belaka, sehingga penggunaan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan kekuasaan negara selain bertujuan mewujudkan kepastian hukum di bidang ekonomi juga harus mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi perekonomian itu sendiri.
Pelanggaran dalam kegiatan perekonomian pada dasarnya tidak selalu merupakan tindak pidana. Perbuatan di bidang perekonomian dapat termasuk dalam bidang perdata atau di bidang administrasi. Perbuatan-perbuatan tertentu, terutama yang menyangkut perijinan, adalah termasuk dalam bidang hukum administrasi. Pelanggaran terhadap kaidahnya tentunya diancam dengan sanksi administrasi. Demikian juga dengan pelanggaran di bidang perdata, sanksi hukumnya adalah sanksi perdata. Kejahatan hanya merupakan tindak pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah ditetapkan sebagai tindak pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang pidana.
Apabila seseorang sekadar menulis atau menciptakan suatu virus komputer namun tidak menyebarkan virus tersebut ke dalam jaringan komputer, maka perbuatan (act atau commission) tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, bahkan perbuatan tersebut tidak pula dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan. Meskipun demikian, apabila virus yang ditulisnya itu kemudian disebarkannya ke dalam jaringan komputer (yang dapat merebak ke seluruh jaringan komputer di dunia), misalnya dalam rangka uji coba sekalipun, maka hanya negaranegara yang telah memiliki undang-undang yang mengkriminalisasi perbuatan penyebaran virus yang dapat menindak perbuatan tersebut sebagai tindak pidana.
Apabila suatu negara tidak atau belum memiliki undang-undang pidana khusus yang mengkriminalisasi penyebaran virus sebagai tindak pidana komputer, seperti Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) misalnya, maka untuk dapat memidana pelaku perbuatan menyebarkan virus tersebut (karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan) hanya dapat dilakukan dengan menggunakan undang-undang pidana umum, sepanjang dalam undang-undang pidana umum tersebut ditemukan pasal-pasal yang memuat unsur-unsur yang pas dengan perbuatan penyebaran virus tersebut.
Oleh karena tindak pidana adalah perilaku (commission dan omission) yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang pidana, maka sekalipun pada umumnya tindak pidana adalah kejahatan atau perilaku jahat, tidak mustahil perilaku yang sekalipun oleh masyarakat dirasakan atau dinilai bukan merupakan suatu kejahatan atau perilaku jahat tetapi dapat pula ditetapkan sebagai tindak pidana (dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang. Saat ini Pemerintah telah mengundangkan beberapa undang-undang untuk menjamin agar kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik dan stabil. Substansi dari beberapa undang-undang tersebut telah memuat ketentuan pidana sehingga pelanggaran atas ketentuanketentuan tersebut dianggap sebagai tindak pidana ekonomi.
Undang-undang pidana khusus di bidang perekonomian tersebut diantaranya adalah: a. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. UU di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang meliputi: 1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 2) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. 3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 4) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. 5) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. 6) UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. c. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; d. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; e. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; f. UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; g. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; h. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; i. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; j. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; k. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; dll.
Pada dasarnya undang-undang yang berkaitan dengan praktik bisnis selain mempidanakan perbuatan seseorang karena adanya mens rea (niat jahat), juga bertujuan untuk menata bisnis dan perekonomian dari suatu negara. Pada kondisi ini, peran negara sebagai regulator dikedepankan guna menciptakan suasana bisnis atau iklim bisnis yang sehat. Suasana bisnis yang kondusif diharapkan dapat merangsang terciptanya situasi yang kompetitif dan menguntungkan konsumen serta lebih jauh lagi menciptakan kondisi bisnis dan ekonomi yang competitive advantage.

Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia.

Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan publik.
  Kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan, tidak dapat lepas dari perubahan wacana dalam proses kebijakan publik. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan criminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil dan kalangan swasta.
Selain sebagai sebuah proses kebijakan kolaboratif, governance juga merupakan sebuah upaya mendekatkan pengambil kebijakan dengan masyarakat berikut masalahnya. Sehingga salah satu agenda kelembagaan dalam governance adalah melakukan reorganisasi hingga ke level terbawah masyarakat negara. Seperti kebijakan desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Prinsip desentralisasi sangat memungkinkan pengambilan kebijakan yang efektif karena pengambil kebijakan sangat dekat dengan level terbawah masyarakat berikut masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam konteks kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi
sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, praktek selama ini belum mengikutsertakan secara integral aktor-aktor non SPP. Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua tahap. Pertama adalah kebijakan pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana. Kedua adalah kebijakan penegakan hukum (reaktif formal) setelah tindak pidana terjadi. Ranah kebijakan kriminal kedua memang menjadi kewenangan penuh SPP. Hanya SPP yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan pidana kepada pelaku kejahatan. Selain adanya aturan hukum formal yang mendasari kewenangan penuh tersebut, keikutsertaan masyarakat dalam reaksi formal sangat berpotensi memunculkan anarki. Namun demikian, dalam kebijakan kriminal pencegahan tindak pidana ekonomi, lembaga-lembaga Negara dalam SPP tidak dapat lagi mendominasi. Aktor-aktor di masyarakat justru merupakan sumber daya yang menentukan efektivitas kebijakan. Aktor-aktor di masyarakatlah yang lebih mengetahui realitas tindak pidana ekonomi karena masalah tersebut merupakan bagian dari kehidupannya, meskipun kadang masyarakat kurang menyadari bahwa suatu perbuatan ekonomi tertentu sebenarnya merupakan tindak pidana ekonomi.
Oleh sebab itu, perlu dirumuskan suatu pendekatan untuk menentukan kategorisasi perbuatan-perbuatan apa di bidang perekonomian yang dapat diancam dengan pidana. Dengan perkataan lain kapankah hukum pidana dapat “masuk” dalam ketentuan di bidang perekonomian. Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu sifat dari hokum pidana. Perlu dipahami bahwa hukum pidana mempunyai sifat “derita”, oleh karena pidana merupakan suatu tindakan yang menyebabkan rasa derita bagi mereka yang dijatuhinya. Selain itu, harus ditentukan apakah hukum pidana masih dianggap sebagai “ultimum remedium”, ataukah harus digunakan sebagai “premum remedium”.
Persoalan utama lainnya adalah penentuan prioritas aspek-aspek apa di bidang perekonomian yang mutlak harus diberikan perlindungan dengan pengenaan sanksi pidana. Dengan perkataan lain, kaedah apa dalam perekonomian yang tidak bisa tidak harus dilindungi melalui hukum pidana. Ukuran yang mungkin dapat diutarakan adalah perlindungan terhadap keselamatan bangsa (nation). Dalam arti sempit barangkali dapat dianalogkan dengan kepentingan umum. Apabila keselamatan umum akan terancam, maka seyogyanya ancaman sanksi pidana dijatuhkan. Hanya saja akan timbul permasalahan, apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum itu. Untuk menentukan kriteria dari kepentingan umum ini tentunya perlu suatu ketegasan pengertian “kepentingan umum”.
Penentuan karakteristik yang khusus tentang tindak pidana ekonomi tidak dapat terlepas dari penentuan kaidah dalam bidang perekonomian itu sendiri. Dalam perumusannya dibutuhkan pihak-pihak yang amat mendalami kaedah-kaedah di bidang perekonomian, yaitu mereka yang berkecimpung di bidang perekonomian. Selain itu diperlukan juga landasan pemikiran yang dapat diterima secara universal sehingga tidak terkesan ada kepentingan subjektif. Namun, harus disadari bahwa materi kandungan suatu undang-undang akan sangat di pengaruhi oleh politik hukum dari kekuatan politik yang berkuasa. Politik hukum merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunarjati Hartono pernah mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan dan penidakberlakuan hukum–hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam Undang-Undang Dasar sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
Dalam ilmu hukum dikenal adanya teori absolut yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan berdasarkan substansi yang terkandung dalam perundang-undangan. Jadi, undang-undang itu sendiri yang menentukan bahwa suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana.30 Dengan skema seperti itu, diharapkan perumusan substansi undang-undang bidang perkonomian, sejak dari awal telah mampu menentukan kapan hukum pidana sudah dapat dipergunakan. Meskipun demikian, bukan berarti seluruh pengaturannya diserahkan kepada mereka yang berkecimpung dalam dunia bisnis, karena dikhawatirkan kepentingan-kepentingan sepihak akan lebih mendominasi dan menyisihkan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat banyak.
Suatu hal yang harus diperhatikan dalam penentuan perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi, adalah cepatnya dinamisme dalam dunia perekonomian. Pada masa tertentu, suatu perbuatan dianggap melanggar hukum, tetapi pada saat yang lain perbuatan tersebut sudah bukan lagi suatu pelanggaran hukum. Itulah sebabnya selayaknya pengaturan hukum pidana ekonomi ditempatkan dalam suatu ketentuan hukum pidana khusus, terpisah dengan ketentuan umum hukum pidana. Belum lagi tentang sulitnya pembuktian dan hal-hal lain yang timbul dalam proses penyelidikan, penyidikan maupun pemeriksaan di bidang perekonomian sehingga wajar apabila untuk hukum pidana ekonomi diatur dalam ketentuan hukum pidana khusus.
Hal di atas juga merupakan dasar mengapa sejauh ini di banyak Negara pengaturan tentang tindak pidana ekonomi ini ditempatkan dalam ketentuan hukum pidana khusus. Sebagai contoh dapat disebutkan De Wet van het Economische Delicten di negeri Belanda. Undang-undang ini mengatur baik pidana formal maupun pidana materiilnya. Terdapat banyak penyimpangan dari ketentuan pidana umum dalam undang-undang itu yang tidak lain didasarkan sifat khusus di bidang perekomian.


Sumber:

Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2013


Review 2: Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia


Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia



Oleh:

Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta


JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455


Hasil dan Pembahasan

Perkembangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin hari semakin pesat. Perkembangan ini secara faktual tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu sama lain. Jika dilihat dari aspek hukum, khususnya di bidang hukum pidana ekonomi, perkembangan teknologi dan perekonomian justru turut menentukan perkembangan kejahatan ekonomi itu sendiri.
Mengenai hubungan dialektika antara perkembangan teknologi dan ekonomi
di satu sisi dengan perkembangan kejahatan ekonomi, Bakat Purwanto mengemukakan:

Perkembangan IPTEK tersebut akan memacu pertumbuhan jenis-jenis kejahatan tertentu. Karena setiap perkembangan budaya manusia selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas, “crime is a shadow of civilization”. Hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas itu, sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta hukum tidak ketinggalan jaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan yang bakal muncul.

Kejahatan, atau dalam bahasa Inggris disebut evil conduct, adalah perilaku jahat. Perilaku dalam Bahasa Inggris adalah conduct, perilaku tersebut dapat berupa melakukan suatu perbuatan yang di dalam Bahasa Inggris disebut act atau commission. Selain itu, perilaku dapat juga berupa tidak melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri, yang di dalam bahasa Inggris disebut omission. Melakukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perilaku jahat apabila perilaku tersebut menurut norma yang berlaku di masyarakat dilarang untuk dilakukan. Sementara itu, perilaku yang berupa tidak melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri merupakan perilaku jahat apabila menurut norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan tersebut diwajibkan untuk dilakukan namun pada kenyataannya tidak dilakukan.
Kejahatan tidak selalu merupakan tindak pidana, kejahatan hanya merupakan
tindak pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah ditetapkan sebagai
tindak pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang pidana. Artinya,
pelaku suatu kejahatan hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila perilaku jahat
tersebut telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang pidana. Meskipun suatu kejahatan belum dikriminalisasi, tidak berarti perbuatan tersebut
tidak dapat dikenakan sanksi. Apabila perilaku itu dinilai sebagai perilaku yang
jahat dan atau merugikan anggota masyarakat, maka pelakunya pasti memperoleh
sanksi sosial dari mayarakat. Secara yuridis, hukum perdata juga telah memberikan
hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, bila perilaku jahat
(kejahatan) tersebut merugikan orang lain.
Sementara itu, tindak pidana adalah perilaku (conduct) yang oleh undangundang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah dikriminalisasi, oleh karena itu, pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana. Istilah tindak pidana dalam
pustaka hukum bahasa Inggris digunakan istilah crime atau offence. Sesuai dengan
pembagian perilaku menjadi commission dan omission, tindak pidana juga dapat
dikategorikan sebagai criminal act atau criminal commission dan criminal omission. Kesimpulannya, istilah crime atau offence merupakan padanan dari istilah tindak pidana. Hal itu dapat disimpulkan dari berbagai tulisan berbahasa Inggris yang dikarang oleh beberapa ahli hukum mengenai definisi atau pengertian dari crime. Menurut Blackstone:

A crime was a violation of the public rights and duties due to the whole community considered as acommunity”. This definition came from mideighteenth century from one of the leading commentator on English Law. More up to date are the definitions which include “a breach of duty imposed by law for the benefit of community at large” and a wrong “whose sanction is punitive and is no way remissible by the Crown alone if remissible at all”.

Penulis terkemuka di bidang hukum pidana, Glanville Williams mendefinisikan
crime sebagai berikut:10 “a crime was a legal wrong that can be followed by criminal proceedings which may result in punishment”. Di samping istilah crime yang merupakan padanan dari istilah tindak pidana, dalam Bahasa Inggris terdapat istilah deviance yang merupakan padanan dari kata kejahatan. Menurut Majid Yar, deviance adalah “acts that breach informal socials norms and rules, has considered undersireble or objectable”.
Tindak pidana ekonomi secara konseptual mengalami perubahan dan perkembangan pemaknaan dari waktu ke waktu. Pada awal kemunculannya, istilah
tindak pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt. 1955. Dalam perkembangannya, istilah tindak pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang merupakan ciri yang menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, baik dalam masyarakat yang sudah modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah modernisasi, karenanya kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui batas-batas teritorial. Kejahatan yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara yang sehat serta menimbulkan kerugian dalam skala besar.
Tindak pidana ekonomi apabila dilihat secara substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika sosial akan mengalami stagnasi karena
hukum juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh karena itu, banyak disaksikan
ketentuan pidana merupakan prinsip-prinsip etis yang diangkat ke tataran sosial
dengan dilandaskan pada norma-norma (moralitas).
Banyak larangan atau perintah hukum yang selintas tampak tidak membumi
seringkali megungkapkan landasan etik setelah ditelaah lebih mendalam. Lebih lanjut Thomas Aquino mengatakan sebagai berikut:

“ketaatan terhadap suatu peraturan yang meragukan ternyata memiliki kandungan nilai moralitas menjaga kewibawaan tertib negara. Karena itu, kita harus tetap menghormatinya dalam hati nurani kita (proper vitandum scandalum vel turbationem) kecuali bila kita berkeyakinan untuk melakukan revolusi karena ternyata negara tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik”.

Meskipun demikian, kandungan etika di dalam hukum khususnya hukum pidana sebenarnya terbatas. Hukum pidana beranjak dari suatu “batas etik minimum”. Dengan kata lain, dalam etika/moral ihwalnya adalah tentang baik dan jahat, sedangkan di dalam hukum pidana persoalannya adalah tentang jahat dan kurang jahat. Untuk bisa lebih jernih melihat kedudukan tindak pidana ekonomi diantara pelanggaran etika dan pelanggaran hukum, penulis akan menguraikan dalam pembahasan di bawah ini.

Tindak Pidana Ekonomi Berawal dari Pelanggaran Etika Bisnis

Tindak pidana ekonomi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang secara professional menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi dll), namun pelaksanaannya dengan caracara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kegiatan ekonomi membutuhkan keberadaan berbagai profesi, seperti pengusaha, buruh/karyawan, konsultan, distributor dan masih banyak lagi profesi terkait dengan kegiatan ekonomi. Pelaksanaan berbagai profesi dalam kegiatan ekonomi idealnya harus dilengkapi dengan suatu kode etik profesi yang dapat meluhurkan profesi tersebut.
Pandangan yang terungkap dari berbagai penelitian, berita-berita atau kasuskasus seputar pelanggaran kode etik profesi mengarahkan kita pada sebuah
pertanyaan mendasar, yaitu: Apakah para profesional membutuhkan secara khusus
suatu kode etik sebagai pedoman bagi perilaku profesionalnya dan sebagai pengarah tindakannya? Oleh karena dalam kenyataan “each day the professional must frequently shuttle between his private moral world and a different proffesional world-a world of clients, corporations, and patients-, When faced with a situation in his profesional world he may respond to it in an infinitely different manner than his private moral system might dictate”.
Kode etik sebagai pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdimensi moral sebagaimana makna yang dikandung dalam
kata “ethics” atau “ethikos”. Bagi yang menjalankan profesi tertentu maka kode etik menuntut agar mereka menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab dan
dalam menjalankan profesinya menghormati hak-hak orang lain. Sehubungan dengan itu, maka menurut S.Y. Balian “In his professional life, he is playing a “role” according to a general script provided by his profession”.
Tindak pidana ekonomi pada awalnya merupakan suatu bentuk pelanggaran
terhadap etika. Ada beberapa penulis yang mengidentikkan atau menyamakan moral dengan etika, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Said, “etika itu identik dengan kata moral dari bahasa latin “mos” (jamaknya “mores”) yang juga berarti adat istiadat atau cara hidup. Jadi, kedua kata tersebut (etika dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan untuk praktek sekelompok manusia. K. Bertens mengartikan “etika”, sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Oleh karena itu, etika disini secara etimologis disamakan dengan moral, namun ada substansi yang secara mendasar berbeda, yakni etika merupakan implikasi moral dan sebagai suatu bagian perbuatan yang tercakup dalam nilai moral. Dengan demikian etika sebagai suatu norma mengandung suatu aturan, yakni keharusan dan larangan yang bertertujuan agar batin manusia diwujudkan dalam perilaku etis, yaitu perilaku yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Dalam praktik perdagangan, para pengusaha muslim sejak ratusan tahun lalu
telah memperkenalkan etika dalam berdagang. Adapun etika perdagangan Islam
tersebut antara lain: a. Shidiq (Jujur); Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngadagada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji merupakan bentuk perbuatan yang harus dilakukan oleh pengusaha muslim. Dalam Al Qur’an,
keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut di
beberapa ayat dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman
Allah SWT: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. b. Amanah (Tanggung jawab); Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. c.
Tidak Menipu; Rasulullah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengadaada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani) d. Menepati Janji; Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”. e. Murah Hati; Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sementara itu, untuk praktik bisnis di Indonesia dapat ditemukan komitmen
pengusaha Indonesia dalam Anggaran Dasar KADIN yang tertuang dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2006 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KADIN. Pada Anggaran Dasar tersebut, pengusaha Indonesia dengan dilandasi jiwa yang luhur, bersih, transparan, dan profesional, serta produktif dan inovatif harus membina dan mengembangkan kerja sama sinergistik yang seimbang dan selaras, baik sektoral dan lintassektoral, antarskala, daerah, nasional maupun internasional, dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang sehat dan dinamis untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi dunia usaha Indonesia dalam ikut serta melaksanakan pembangunan nasional dan daerah di bidang ekonomi.
Selanjutnya menyadari kedudukannya sebagai wadah pengusaha Indonesia yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rakyat dan masyarakat Indonesia, maka guna mewujudkan peran sertanya dalam mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib, KADIN menetapkan Etika Bisnis yang merupakan tuntunan moral dan pedoman perilaku bagi jajarannya dan anggota KADIN di dalam menghayati tugas dan kewajiban masing-masing, sebagai berikut: 1) Kegiatan usaha/ bisnis memiliki harkat dan martabat terhormat yang senantiasa harus dipelihara dan dijaga. 2) Senantiasa berikhtiar meningkatkan profesionalisme untuk meningkatan mutu dan kemampuan serta mengantisipasi perubahan lingkungan usaha. 3) Berprinsip satu kata dengan perbuatan serta bersikap jujur dan dapat dipercaya. 4) Membina hubungan usaha berlandaskan itikat baik, memenuhi ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan serta menyelesaikan perselisihan dan/atau perbedaan pendapat secara musyawarah dengan berlandaskan keadilan. 5) Memiliki kesadaran nasional yang tinggi dengan senantiasa melaksanakan tanggungjawab sosial kepada masyarakat serta menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6) Menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan tindakan yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. 7) Tidak melakukan praktik-praktik suap, yaitu tidak meminta, tidak menawarkan, tidak menjanjikan, tidak memberi, dan tidak menerima suap. 8) Menghormati kepentingan bersama dan saling menjaga diri dari perilaku dan/atau tindakan yang tidak etis dengan saling mengingatkan.
Berdasarkan uraian tentang etika bisnis di atas, dapat diambil suatu pembelajaran bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang pengusaha paling tidak harus memiliki sifat jujur, amanah, tidak menipu, menepati janji dan murah hati, memiliki itikat baik, dan selalu mentaati peraturan perundang-undangan dalam menjalankan usahanya. Kaitannya dengan kegiatan ekonomi, etika yang mendasar bagi pengusaha adalah menciptakan suatu iklim etika (ethical climate) karena ujung dari pelanggaran etika ini adalah adanya unfair business practice. Secara umum, unfair business practice diketahui sebagai tindakan menipu, mencuri, menggelapkan, mengelabuhi, bersekongkol, menyalahgunakan kekuatan dan kesempatan, menindas atau memeras yang lemah dan tindakan-tindakan yang merusak serta merugikan pihak lain pada umumnya. Lebih lanjut dalam Black Law Dictionary dijelaskan:

“Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi pada mulanya berawal dari adanya pelanggaran terhadap etika bisnis.


Sumber:

Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2013