3. Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan
Beberapa indikator distribusi
pendapatan :
Sudah merupakan suatu fakta umum
dibanyak negara berkembang, terutama Negara-negara proses pembangunan ekonomi
yang sangat pesat seperti indonesia, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula.
Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Selain koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok; yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
Perubahan distribusi pendapatan
Perhitungan distribusi pendapatan
di Indonesia menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (susenas) pada
tahun 1984, 1987, 1990, 1993. data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang
dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur
distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran
konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi
kendala serius dalam mengukur secara akurat tingkat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja seseorang tidak punya
pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak
pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu berlebihan, tetapi
mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah milik mereka
(orang tuanya).
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkandata pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkandata pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil.
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Menurut kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah. Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40% berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 20% berpendapat tinggi.
Tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin banyaki, diperkirakan sekita sepuluh juta orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya setiap tahun terbatas. Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau bekerja disektor formal, sedangkan daya tamping sector tersebut terbatas maka semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal. Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.
Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan dilema
bagi Indonesia, terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang
miskin berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dari pada
lajupertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak pelita I dimulai hingga saat
ini (Repelita VI). Karena kemiskinan merupakan salah satu masalah ekonomi
Indonesia yang serius maka tidak mengherankan kalau banya studi telah dilakukan
mengenai kemiskinan tanah air. Sayangnya, pendekatan yang dipakai antarstudi
yang ada pada umumnya berbeda dan batas miskin yang digunakan juga beragam
sehingga hasil atau gambaran mengenai kemiskinan di Indonesia juga berbeda.
Kemiskinan relatif dapat diukur dengan kurva Lorentz dan atau koefesien gini.
Sedangkan kemiskinan absolute lebih sulit untuk di ukur, terutama pada waktu
membandingkan tingkat kemiskinan antarpropinsi atau daerah.
Faktor penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan yang baik. Berarti penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah, tetapi tingkat gaji/upah yang berbeda
Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang bersangkutan sehingga produktivitasnya menurun. Produktifitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untukmemastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.
Pengertian kemiskinan menurut beberapa ahli:
1.
Menurut
Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan
dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran
fisiologi, psikologi dan sosial. Sementara itu,
2.
Esmara
(1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber
ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya
dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak.
3.
Menurut
Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba
kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan,
pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya.
4.
Sementara
itu, menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai
pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan.
Kesimpulan
Tingkat kesenjangan ekonomi dan
jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang dan dapat dikatakan bahwa
perubahan ini merupakan salah satu hasil pembangunan ekonomi ditanah air selama
ini. Namun masih banyak permasalahan dengan kemiskinan dan kesenjangan.
Hingga saat ini, penentu garis kemiskinan masih berdasarkan kebutuhan fisik dan pendidikan tinggi. Tanpa adanya pendidikan yang baik tidak akan bisa terjadi progres di dalam kehidupan.
Hingga saat ini, penentu garis kemiskinan masih berdasarkan kebutuhan fisik dan pendidikan tinggi. Tanpa adanya pendidikan yang baik tidak akan bisa terjadi progres di dalam kehidupan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar