syalom


widget

welcome


widget

Jumat, 03 Mei 2013

Review 2: Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia


Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia



Oleh:

Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta


JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455


Hasil dan Pembahasan

Perkembangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin hari semakin pesat. Perkembangan ini secara faktual tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu sama lain. Jika dilihat dari aspek hukum, khususnya di bidang hukum pidana ekonomi, perkembangan teknologi dan perekonomian justru turut menentukan perkembangan kejahatan ekonomi itu sendiri.
Mengenai hubungan dialektika antara perkembangan teknologi dan ekonomi
di satu sisi dengan perkembangan kejahatan ekonomi, Bakat Purwanto mengemukakan:

Perkembangan IPTEK tersebut akan memacu pertumbuhan jenis-jenis kejahatan tertentu. Karena setiap perkembangan budaya manusia selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas, “crime is a shadow of civilization”. Hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas itu, sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta hukum tidak ketinggalan jaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan yang bakal muncul.

Kejahatan, atau dalam bahasa Inggris disebut evil conduct, adalah perilaku jahat. Perilaku dalam Bahasa Inggris adalah conduct, perilaku tersebut dapat berupa melakukan suatu perbuatan yang di dalam Bahasa Inggris disebut act atau commission. Selain itu, perilaku dapat juga berupa tidak melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri, yang di dalam bahasa Inggris disebut omission. Melakukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perilaku jahat apabila perilaku tersebut menurut norma yang berlaku di masyarakat dilarang untuk dilakukan. Sementara itu, perilaku yang berupa tidak melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri merupakan perilaku jahat apabila menurut norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan tersebut diwajibkan untuk dilakukan namun pada kenyataannya tidak dilakukan.
Kejahatan tidak selalu merupakan tindak pidana, kejahatan hanya merupakan
tindak pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah ditetapkan sebagai
tindak pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang pidana. Artinya,
pelaku suatu kejahatan hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila perilaku jahat
tersebut telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang pidana. Meskipun suatu kejahatan belum dikriminalisasi, tidak berarti perbuatan tersebut
tidak dapat dikenakan sanksi. Apabila perilaku itu dinilai sebagai perilaku yang
jahat dan atau merugikan anggota masyarakat, maka pelakunya pasti memperoleh
sanksi sosial dari mayarakat. Secara yuridis, hukum perdata juga telah memberikan
hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, bila perilaku jahat
(kejahatan) tersebut merugikan orang lain.
Sementara itu, tindak pidana adalah perilaku (conduct) yang oleh undangundang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah dikriminalisasi, oleh karena itu, pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana. Istilah tindak pidana dalam
pustaka hukum bahasa Inggris digunakan istilah crime atau offence. Sesuai dengan
pembagian perilaku menjadi commission dan omission, tindak pidana juga dapat
dikategorikan sebagai criminal act atau criminal commission dan criminal omission. Kesimpulannya, istilah crime atau offence merupakan padanan dari istilah tindak pidana. Hal itu dapat disimpulkan dari berbagai tulisan berbahasa Inggris yang dikarang oleh beberapa ahli hukum mengenai definisi atau pengertian dari crime. Menurut Blackstone:

A crime was a violation of the public rights and duties due to the whole community considered as acommunity”. This definition came from mideighteenth century from one of the leading commentator on English Law. More up to date are the definitions which include “a breach of duty imposed by law for the benefit of community at large” and a wrong “whose sanction is punitive and is no way remissible by the Crown alone if remissible at all”.

Penulis terkemuka di bidang hukum pidana, Glanville Williams mendefinisikan
crime sebagai berikut:10 “a crime was a legal wrong that can be followed by criminal proceedings which may result in punishment”. Di samping istilah crime yang merupakan padanan dari istilah tindak pidana, dalam Bahasa Inggris terdapat istilah deviance yang merupakan padanan dari kata kejahatan. Menurut Majid Yar, deviance adalah “acts that breach informal socials norms and rules, has considered undersireble or objectable”.
Tindak pidana ekonomi secara konseptual mengalami perubahan dan perkembangan pemaknaan dari waktu ke waktu. Pada awal kemunculannya, istilah
tindak pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt. 1955. Dalam perkembangannya, istilah tindak pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang merupakan ciri yang menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, baik dalam masyarakat yang sudah modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah modernisasi, karenanya kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui batas-batas teritorial. Kejahatan yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara yang sehat serta menimbulkan kerugian dalam skala besar.
Tindak pidana ekonomi apabila dilihat secara substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika sosial akan mengalami stagnasi karena
hukum juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh karena itu, banyak disaksikan
ketentuan pidana merupakan prinsip-prinsip etis yang diangkat ke tataran sosial
dengan dilandaskan pada norma-norma (moralitas).
Banyak larangan atau perintah hukum yang selintas tampak tidak membumi
seringkali megungkapkan landasan etik setelah ditelaah lebih mendalam. Lebih lanjut Thomas Aquino mengatakan sebagai berikut:

“ketaatan terhadap suatu peraturan yang meragukan ternyata memiliki kandungan nilai moralitas menjaga kewibawaan tertib negara. Karena itu, kita harus tetap menghormatinya dalam hati nurani kita (proper vitandum scandalum vel turbationem) kecuali bila kita berkeyakinan untuk melakukan revolusi karena ternyata negara tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik”.

Meskipun demikian, kandungan etika di dalam hukum khususnya hukum pidana sebenarnya terbatas. Hukum pidana beranjak dari suatu “batas etik minimum”. Dengan kata lain, dalam etika/moral ihwalnya adalah tentang baik dan jahat, sedangkan di dalam hukum pidana persoalannya adalah tentang jahat dan kurang jahat. Untuk bisa lebih jernih melihat kedudukan tindak pidana ekonomi diantara pelanggaran etika dan pelanggaran hukum, penulis akan menguraikan dalam pembahasan di bawah ini.

Tindak Pidana Ekonomi Berawal dari Pelanggaran Etika Bisnis

Tindak pidana ekonomi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang secara professional menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi dll), namun pelaksanaannya dengan caracara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kegiatan ekonomi membutuhkan keberadaan berbagai profesi, seperti pengusaha, buruh/karyawan, konsultan, distributor dan masih banyak lagi profesi terkait dengan kegiatan ekonomi. Pelaksanaan berbagai profesi dalam kegiatan ekonomi idealnya harus dilengkapi dengan suatu kode etik profesi yang dapat meluhurkan profesi tersebut.
Pandangan yang terungkap dari berbagai penelitian, berita-berita atau kasuskasus seputar pelanggaran kode etik profesi mengarahkan kita pada sebuah
pertanyaan mendasar, yaitu: Apakah para profesional membutuhkan secara khusus
suatu kode etik sebagai pedoman bagi perilaku profesionalnya dan sebagai pengarah tindakannya? Oleh karena dalam kenyataan “each day the professional must frequently shuttle between his private moral world and a different proffesional world-a world of clients, corporations, and patients-, When faced with a situation in his profesional world he may respond to it in an infinitely different manner than his private moral system might dictate”.
Kode etik sebagai pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdimensi moral sebagaimana makna yang dikandung dalam
kata “ethics” atau “ethikos”. Bagi yang menjalankan profesi tertentu maka kode etik menuntut agar mereka menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab dan
dalam menjalankan profesinya menghormati hak-hak orang lain. Sehubungan dengan itu, maka menurut S.Y. Balian “In his professional life, he is playing a “role” according to a general script provided by his profession”.
Tindak pidana ekonomi pada awalnya merupakan suatu bentuk pelanggaran
terhadap etika. Ada beberapa penulis yang mengidentikkan atau menyamakan moral dengan etika, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Said, “etika itu identik dengan kata moral dari bahasa latin “mos” (jamaknya “mores”) yang juga berarti adat istiadat atau cara hidup. Jadi, kedua kata tersebut (etika dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan untuk praktek sekelompok manusia. K. Bertens mengartikan “etika”, sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Oleh karena itu, etika disini secara etimologis disamakan dengan moral, namun ada substansi yang secara mendasar berbeda, yakni etika merupakan implikasi moral dan sebagai suatu bagian perbuatan yang tercakup dalam nilai moral. Dengan demikian etika sebagai suatu norma mengandung suatu aturan, yakni keharusan dan larangan yang bertertujuan agar batin manusia diwujudkan dalam perilaku etis, yaitu perilaku yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Dalam praktik perdagangan, para pengusaha muslim sejak ratusan tahun lalu
telah memperkenalkan etika dalam berdagang. Adapun etika perdagangan Islam
tersebut antara lain: a. Shidiq (Jujur); Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngadagada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji merupakan bentuk perbuatan yang harus dilakukan oleh pengusaha muslim. Dalam Al Qur’an,
keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut di
beberapa ayat dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman
Allah SWT: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. b. Amanah (Tanggung jawab); Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. c.
Tidak Menipu; Rasulullah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengadaada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani) d. Menepati Janji; Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”. e. Murah Hati; Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sementara itu, untuk praktik bisnis di Indonesia dapat ditemukan komitmen
pengusaha Indonesia dalam Anggaran Dasar KADIN yang tertuang dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2006 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KADIN. Pada Anggaran Dasar tersebut, pengusaha Indonesia dengan dilandasi jiwa yang luhur, bersih, transparan, dan profesional, serta produktif dan inovatif harus membina dan mengembangkan kerja sama sinergistik yang seimbang dan selaras, baik sektoral dan lintassektoral, antarskala, daerah, nasional maupun internasional, dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang sehat dan dinamis untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi dunia usaha Indonesia dalam ikut serta melaksanakan pembangunan nasional dan daerah di bidang ekonomi.
Selanjutnya menyadari kedudukannya sebagai wadah pengusaha Indonesia yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rakyat dan masyarakat Indonesia, maka guna mewujudkan peran sertanya dalam mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib, KADIN menetapkan Etika Bisnis yang merupakan tuntunan moral dan pedoman perilaku bagi jajarannya dan anggota KADIN di dalam menghayati tugas dan kewajiban masing-masing, sebagai berikut: 1) Kegiatan usaha/ bisnis memiliki harkat dan martabat terhormat yang senantiasa harus dipelihara dan dijaga. 2) Senantiasa berikhtiar meningkatkan profesionalisme untuk meningkatan mutu dan kemampuan serta mengantisipasi perubahan lingkungan usaha. 3) Berprinsip satu kata dengan perbuatan serta bersikap jujur dan dapat dipercaya. 4) Membina hubungan usaha berlandaskan itikat baik, memenuhi ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan serta menyelesaikan perselisihan dan/atau perbedaan pendapat secara musyawarah dengan berlandaskan keadilan. 5) Memiliki kesadaran nasional yang tinggi dengan senantiasa melaksanakan tanggungjawab sosial kepada masyarakat serta menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6) Menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan tindakan yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. 7) Tidak melakukan praktik-praktik suap, yaitu tidak meminta, tidak menawarkan, tidak menjanjikan, tidak memberi, dan tidak menerima suap. 8) Menghormati kepentingan bersama dan saling menjaga diri dari perilaku dan/atau tindakan yang tidak etis dengan saling mengingatkan.
Berdasarkan uraian tentang etika bisnis di atas, dapat diambil suatu pembelajaran bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang pengusaha paling tidak harus memiliki sifat jujur, amanah, tidak menipu, menepati janji dan murah hati, memiliki itikat baik, dan selalu mentaati peraturan perundang-undangan dalam menjalankan usahanya. Kaitannya dengan kegiatan ekonomi, etika yang mendasar bagi pengusaha adalah menciptakan suatu iklim etika (ethical climate) karena ujung dari pelanggaran etika ini adalah adanya unfair business practice. Secara umum, unfair business practice diketahui sebagai tindakan menipu, mencuri, menggelapkan, mengelabuhi, bersekongkol, menyalahgunakan kekuatan dan kesempatan, menindas atau memeras yang lemah dan tindakan-tindakan yang merusak serta merugikan pihak lain pada umumnya. Lebih lanjut dalam Black Law Dictionary dijelaskan:

“Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi pada mulanya berawal dari adanya pelanggaran terhadap etika bisnis.


Sumber:

Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar