Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia
Oleh:
Iza Fadri
Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl.
Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta
JURNAL
HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455
Hasil
dan Pembahasan
Perkembangan Tindak Pidana Ekonomi
di Indonesia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
hari semakin pesat. Perkembangan ini secara faktual tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu sama
lain. Jika dilihat dari aspek hukum, khususnya di bidang hukum pidana ekonomi,
perkembangan teknologi dan perekonomian justru turut menentukan perkembangan kejahatan
ekonomi itu sendiri.
Mengenai hubungan dialektika antara perkembangan
teknologi dan ekonomi
di
satu sisi dengan perkembangan kejahatan ekonomi, Bakat Purwanto mengemukakan:
“Perkembangan IPTEK tersebut akan memacu pertumbuhan
jenis-jenis kejahatan tertentu. Karena setiap perkembangan budaya manusia
selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas, “crime is a shadow of
civilization”. Hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas itu,
sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta hukum
tidak ketinggalan jaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi
kejahatan-kejahatan yang bakal muncul”.
Kejahatan, atau dalam bahasa Inggris disebut evil
conduct, adalah perilaku jahat. Perilaku dalam Bahasa Inggris adalah conduct,
perilaku tersebut dapat berupa melakukan suatu perbuatan yang di dalam Bahasa
Inggris disebut act atau commission. Selain itu, perilaku dapat juga berupa
tidak melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri, yang di dalam bahasa
Inggris disebut omission. Melakukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
perilaku jahat apabila perilaku tersebut menurut norma yang berlaku di
masyarakat dilarang untuk dilakukan. Sementara itu, perilaku yang berupa tidak
melakukan perbuatan apapun atau berdiam diri merupakan perilaku jahat apabila
menurut norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan tersebut diwajibkan untuk
dilakukan namun pada kenyataannya tidak dilakukan.
Kejahatan tidak selalu merupakan tindak pidana,
kejahatan hanya merupakan
tindak
pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah ditetapkan sebagai
tindak
pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang pidana. Artinya,
pelaku
suatu kejahatan hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila perilaku jahat
tersebut
telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang pidana. Meskipun
suatu kejahatan belum dikriminalisasi, tidak berarti perbuatan tersebut
tidak
dapat dikenakan sanksi. Apabila perilaku itu dinilai sebagai perilaku yang
jahat
dan atau merugikan anggota masyarakat, maka pelakunya pasti memperoleh
sanksi
sosial dari mayarakat. Secara yuridis, hukum perdata juga telah memberikan
hak
kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, bila perilaku jahat
(kejahatan)
tersebut merugikan orang lain.
Sementara itu, tindak pidana adalah perilaku
(conduct) yang oleh undangundang pidana yang berlaku (hukum pidana positif)
telah dikriminalisasi, oleh karena itu, pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.
Istilah tindak pidana dalam
pustaka
hukum bahasa Inggris digunakan istilah crime atau offence. Sesuai dengan
pembagian
perilaku menjadi commission dan omission, tindak pidana juga dapat
dikategorikan
sebagai criminal act atau criminal commission dan criminal omission. Kesimpulannya,
istilah crime atau offence merupakan padanan dari istilah tindak pidana. Hal
itu dapat disimpulkan dari berbagai tulisan berbahasa Inggris yang dikarang
oleh beberapa ahli hukum mengenai definisi atau pengertian dari crime. Menurut
Blackstone:
“A crime was a violation of the public rights and
duties due to the whole community considered as acommunity”. This definition
came from mideighteenth century from one of the leading commentator on English
Law. More up to date are the definitions which include “a breach of duty
imposed by law for the benefit of community at large” and a wrong “whose sanction
is punitive and is no way remissible by the Crown alone if remissible at all”.
Penulis
terkemuka di bidang hukum pidana, Glanville Williams mendefinisikan
crime
sebagai berikut:10 “a crime was a legal wrong that can be followed by criminal
proceedings which may result in punishment”. Di samping istilah crime yang
merupakan padanan dari istilah tindak pidana, dalam Bahasa Inggris terdapat
istilah deviance yang merupakan padanan dari kata kejahatan. Menurut Majid Yar,
deviance adalah “acts that breach informal socials norms and rules, has
considered undersireble or objectable”.
Tindak pidana ekonomi secara konseptual mengalami
perubahan dan perkembangan pemaknaan dari waktu ke waktu. Pada awal
kemunculannya, istilah
tindak
pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan
yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt. 1955. Dalam perkembangannya,
istilah tindak pidana ekonomi dimaknai sebagai pelanggaran yang merupakan ciri yang
menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, baik dalam masyarakat
yang sudah modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah
modernisasi, karenanya kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui
batas-batas teritorial. Kejahatan yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh
negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara
yang sehat serta menimbulkan kerugian dalam skala besar.
Tindak pidana ekonomi apabila dilihat secara
substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika
dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling
jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam
wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat
diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum
acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan
infrastruktur hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika
sosial akan mengalami stagnasi karena
hukum
juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh karena itu, banyak disaksikan
ketentuan
pidana merupakan prinsip-prinsip etis yang diangkat ke tataran sosial
dengan
dilandaskan pada norma-norma (moralitas).
Banyak larangan atau perintah hukum yang selintas
tampak tidak membumi
seringkali
megungkapkan landasan etik setelah ditelaah lebih mendalam. Lebih lanjut Thomas
Aquino mengatakan sebagai berikut:
“ketaatan terhadap suatu peraturan yang meragukan
ternyata memiliki kandungan nilai moralitas menjaga kewibawaan tertib
negara. Karena itu, kita harus tetap menghormatinya dalam hati nurani kita
(proper vitandum scandalum vel turbationem) kecuali bila kita berkeyakinan
untuk melakukan revolusi karena ternyata negara tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik”.
Meskipun demikian, kandungan etika di dalam hukum
khususnya hukum pidana sebenarnya terbatas. Hukum pidana beranjak dari suatu
“batas etik minimum”. Dengan kata lain, dalam etika/moral ihwalnya adalah
tentang baik dan jahat, sedangkan di dalam hukum pidana persoalannya adalah
tentang jahat dan kurang jahat. Untuk bisa lebih jernih melihat kedudukan
tindak pidana ekonomi diantara pelanggaran etika dan pelanggaran hukum, penulis
akan menguraikan dalam pembahasan di bawah ini.
Tindak Pidana Ekonomi Berawal dari
Pelanggaran Etika Bisnis
Tindak pidana ekonomi pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang secara professional menjadi
bagian dari kegiatan
ekonomi
(produksi, distribusi, konsumsi dll), namun pelaksanaannya dengan caracara yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kegiatan ekonomi membutuhkan
keberadaan berbagai profesi, seperti pengusaha, buruh/karyawan, konsultan,
distributor dan masih banyak lagi profesi terkait dengan kegiatan ekonomi.
Pelaksanaan berbagai profesi dalam kegiatan ekonomi idealnya harus dilengkapi
dengan suatu kode etik profesi yang dapat meluhurkan profesi tersebut.
Pandangan yang terungkap dari berbagai penelitian,
berita-berita atau kasuskasus seputar pelanggaran kode etik profesi mengarahkan
kita pada sebuah
pertanyaan
mendasar, yaitu: Apakah para profesional membutuhkan secara khusus
suatu
kode etik sebagai pedoman bagi perilaku profesionalnya dan sebagai pengarah tindakannya?
Oleh karena dalam kenyataan “each day the professional must frequently shuttle
between his private moral world and a different proffesional world-a world of
clients, corporations, and patients-, When faced with a situation in his
profesional world he may respond to it in an infinitely different manner than
his private moral system might dictate”.
Kode etik sebagai pedoman untuk bertingkah laku
tidak terlepas dari pertimbangan yang berdimensi moral sebagaimana makna yang
dikandung dalam
kata
“ethics” atau “ethikos”. Bagi yang menjalankan profesi tertentu maka kode etik menuntut
agar mereka menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab dan
dalam
menjalankan profesinya menghormati hak-hak orang lain. Sehubungan dengan itu,
maka menurut S.Y. Balian “In his professional life, he is playing a “role” according
to a general script provided by his profession”.
Tindak pidana ekonomi pada awalnya merupakan suatu
bentuk pelanggaran
terhadap
etika. Ada beberapa penulis yang mengidentikkan atau menyamakan moral dengan
etika, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Said, “etika itu identik dengan
kata moral dari bahasa latin “mos” (jamaknya “mores”) yang juga berarti adat
istiadat atau cara hidup. Jadi, kedua kata tersebut (etika dan moral)
menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan untuk praktek
sekelompok manusia. K. Bertens mengartikan “etika”, sebagai nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Oleh karena itu, etika disini secara etimologis
disamakan dengan moral, namun ada substansi yang secara mendasar berbeda, yakni
etika merupakan implikasi moral dan sebagai suatu bagian perbuatan yang
tercakup dalam nilai moral. Dengan demikian etika sebagai suatu norma
mengandung suatu aturan, yakni keharusan dan larangan yang bertertujuan agar
batin manusia diwujudkan dalam perilaku etis, yaitu perilaku yang memiliki
nilai-nilai kebaikan.
Dalam praktik perdagangan, para pengusaha muslim
sejak ratusan tahun lalu
telah
memperkenalkan etika dalam berdagang. Adapun etika perdagangan Islam
tersebut
antara lain: a. Shidiq (Jujur); Tidak berbohong, tidak menipu, tidak
mcngadagada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji merupakan
bentuk perbuatan yang harus dilakukan oleh pengusaha muslim. Dalam Al Qur’an,
keharusan
bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan
dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut di
beberapa
ayat dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman
Allah
SWT: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. b. Amanah (Tanggung
jawab); Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan)
masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. c.
Tidak
Menipu; Rasulullah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak
mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengadaada, semata-mata
agar barang dagangannya laris terjual. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik
tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani) d.
Menepati Janji; Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya,
baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu
saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah
dalam Al Qur’an: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya
kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka
bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”. e. Murah Hati; Dalam suatu
hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati
dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan
santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sementara itu, untuk praktik bisnis di Indonesia
dapat ditemukan komitmen
pengusaha
Indonesia dalam Anggaran Dasar KADIN yang tertuang dalam Lampiran Keputusan
Presiden Nomor 16 Tahun 2006 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga KADIN. Pada Anggaran Dasar tersebut, pengusaha Indonesia
dengan dilandasi jiwa yang luhur, bersih, transparan, dan profesional, serta
produktif dan inovatif harus membina dan mengembangkan kerja sama sinergistik
yang seimbang dan selaras, baik sektoral dan lintassektoral, antarskala, daerah,
nasional maupun internasional, dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang sehat
dan dinamis untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya
bagi dunia usaha Indonesia dalam ikut serta melaksanakan pembangunan nasional
dan daerah di bidang ekonomi.
Selanjutnya menyadari kedudukannya sebagai wadah
pengusaha Indonesia yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rakyat dan
masyarakat Indonesia, maka guna mewujudkan peran sertanya dalam mewujudkan
kehidupan ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib, KADIN menetapkan Etika
Bisnis yang merupakan tuntunan moral dan pedoman perilaku bagi jajarannya dan
anggota KADIN di dalam menghayati tugas dan kewajiban masing-masing, sebagai
berikut: 1) Kegiatan usaha/ bisnis memiliki harkat dan martabat terhormat yang
senantiasa harus dipelihara dan dijaga. 2) Senantiasa berikhtiar meningkatkan
profesionalisme untuk meningkatan mutu dan kemampuan serta mengantisipasi
perubahan lingkungan usaha. 3) Berprinsip satu kata dengan perbuatan serta
bersikap jujur dan dapat dipercaya. 4) Membina hubungan usaha berlandaskan
itikat baik, memenuhi ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan serta
menyelesaikan perselisihan dan/atau perbedaan pendapat secara musyawarah dengan
berlandaskan keadilan. 5) Memiliki kesadaran nasional yang tinggi dengan
senantiasa melaksanakan tanggungjawab sosial kepada masyarakat serta menaati
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6) Menghindarkan diri dari
perbuatan tercela dan tindakan yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.
7) Tidak melakukan praktik-praktik suap, yaitu tidak meminta, tidak menawarkan,
tidak menjanjikan, tidak memberi, dan tidak menerima suap. 8) Menghormati
kepentingan bersama dan saling menjaga diri dari perilaku dan/atau tindakan
yang tidak etis dengan saling mengingatkan.
Berdasarkan uraian tentang etika bisnis di atas,
dapat diambil suatu pembelajaran bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang
pengusaha paling tidak harus memiliki sifat jujur, amanah, tidak menipu,
menepati janji dan murah hati, memiliki itikat baik, dan selalu mentaati
peraturan perundang-undangan dalam menjalankan usahanya. Kaitannya dengan
kegiatan ekonomi, etika yang mendasar bagi pengusaha adalah menciptakan suatu
iklim etika (ethical climate) karena ujung dari pelanggaran etika ini adalah
adanya unfair business practice. Secara umum, unfair business practice
diketahui sebagai tindakan menipu, mencuri, menggelapkan, mengelabuhi,
bersekongkol, menyalahgunakan kekuatan dan kesempatan, menindas atau memeras
yang lemah dan tindakan-tindakan yang merusak serta merugikan pihak lain pada
umumnya. Lebih lanjut dalam Black Law Dictionary dijelaskan:
“Unfair competition is a term which may be applied
generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is
particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own
goods or products in the markets for those of another, having and established
reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name,
tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape,
color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such
simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general
public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute
counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name”.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana ekonomi pada mulanya berawal dari adanya pelanggaran
terhadap etika bisnis.
Sumber:
Nama / NPM : Frely Revalno
Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar