Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia
Oleh:
Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta
JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455
Tindak Pidana Ekonomi Merupakan Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi
Mengenai konsep hukum pidana ekonomi, beberapa pakar hukum telah mengemukakan pendapat, diantaranya adalah Andi Hamzah yang menyatakan:
bahwa hukum pidana ekonomi adalah bagain dari hukum pidana, yang mempunyai corak-corak tersendiri, yaitu corak ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap ketentuan hukum pidana yang mempunyai orientasi pengaturan di bidang ekonomi dapat dikategorikan sebagai hukum pidana ekonomi.
Bambang Poernomo mengemukakan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut:
“Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang pelanggaran dan atau kejahatan dalam bidang ekonomi. Tujuan diadakannya hukum pidana ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan megejar kemakmuran untuk seluruh rakyat”.
Menurut H.A.K Moch Anwar, hukum pidana adalah sekumpulan peraturanperaturan dibidang ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/ kewajiban dan atau larangan terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana ekonomi adalah seperangkat aturan yang mengatur tentang kejahatan dan atau pelanggaran aturan yang di ditetapkan oleh negara atau pemerintah dalam menata perekonomian ke arah terwujudnya kehidupan yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Hukum pidana ekonomi merupakan ultimum remedium atau disebut juga sebagai senjata pamungkas, serta sering juga dikemukakan oleh Muladi bahwa hukum pidana hanya bertindak sebagai “tentara sewaan”/merchanary, dimana pengertian ini bisa juga diartikan bahwa hukum pidana digunakan bukan hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri tetapi adalah untuk kepentingan tujuan yang lebih jelas yaitu untuk kepentingan ekonomi.
Apabila dilihat kepentingan ekonomi dan kepentingan hukum dihubungkan dengan tugas negara, maka hukum pidana ekonomi merupakan tugas negara untuk melaksanakan pengaturan atau regulator terhadap pencapaian tujuan ekonomi bagi negara. Akhir era perang dingin telah menempatkan politik didunia ke dalam satu arah yaitu timbulnya prinsip negara kesejahteraan. Negara secara hakiki dianggap bertanggungjawab dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada didalamnnya sehingga peran negara mengarah pada penciptaan perekonomian yang mendukung timbulnya kesejahteraan.
Seperti telah disinggung di atas, karena pidana ekonomi merupakan respon negara terhadap tanggung jawab pelaksanaan tugas negara di bidang ekonomi, maka negara berperan sebagai regulator. Dalam perannya sebagai regulator, negara melaksanakan kekuasaanya untuk mencapai situasi yang kondusif dan bukan lagi untuk mencapai kekuasaan belaka, sehingga penggunaan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan kekuasaan negara selain bertujuan mewujudkan kepastian hukum di bidang ekonomi juga harus mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi perekonomian itu sendiri.
Pelanggaran dalam kegiatan perekonomian pada dasarnya tidak selalu merupakan tindak pidana. Perbuatan di bidang perekonomian dapat termasuk dalam bidang perdata atau di bidang administrasi. Perbuatan-perbuatan tertentu, terutama yang menyangkut perijinan, adalah termasuk dalam bidang hukum administrasi. Pelanggaran terhadap kaidahnya tentunya diancam dengan sanksi administrasi. Demikian juga dengan pelanggaran di bidang perdata, sanksi hukumnya adalah sanksi perdata. Kejahatan hanya merupakan tindak pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah ditetapkan sebagai tindak pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang pidana.
Apabila seseorang sekadar menulis atau menciptakan suatu virus komputer namun tidak menyebarkan virus tersebut ke dalam jaringan komputer, maka perbuatan (act atau commission) tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, bahkan perbuatan tersebut tidak pula dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan. Meskipun demikian, apabila virus yang ditulisnya itu kemudian disebarkannya ke dalam jaringan komputer (yang dapat merebak ke seluruh jaringan komputer di dunia), misalnya dalam rangka uji coba sekalipun, maka hanya negaranegara yang telah memiliki undang-undang yang mengkriminalisasi perbuatan penyebaran virus yang dapat menindak perbuatan tersebut sebagai tindak pidana.
Apabila suatu negara tidak atau belum memiliki undang-undang pidana khusus yang mengkriminalisasi penyebaran virus sebagai tindak pidana komputer, seperti Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) misalnya, maka untuk dapat memidana pelaku perbuatan menyebarkan virus tersebut (karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan) hanya dapat dilakukan dengan menggunakan undang-undang pidana umum, sepanjang dalam undang-undang pidana umum tersebut ditemukan pasal-pasal yang memuat unsur-unsur yang pas dengan perbuatan penyebaran virus tersebut.
Oleh karena tindak pidana adalah perilaku (commission dan omission) yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang pidana, maka sekalipun pada umumnya tindak pidana adalah kejahatan atau perilaku jahat, tidak mustahil perilaku yang sekalipun oleh masyarakat dirasakan atau dinilai bukan merupakan suatu kejahatan atau perilaku jahat tetapi dapat pula ditetapkan sebagai tindak pidana (dikriminalisasi) oleh suatu undang-undang. Saat ini Pemerintah telah mengundangkan beberapa undang-undang untuk menjamin agar kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik dan stabil. Substansi dari beberapa undang-undang tersebut telah memuat ketentuan pidana sehingga pelanggaran atas ketentuanketentuan tersebut dianggap sebagai tindak pidana ekonomi.
Undang-undang pidana khusus di bidang perekonomian tersebut diantaranya adalah: a. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. UU di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang meliputi: 1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 2) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. 3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 4) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. 5) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. 6) UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. c. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; d. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; e. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; f. UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; g. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; h. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; i. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; j. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; k. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; dll.
Pada dasarnya undang-undang yang berkaitan dengan praktik bisnis selain mempidanakan perbuatan seseorang karena adanya mens rea (niat jahat), juga bertujuan untuk menata bisnis dan perekonomian dari suatu negara. Pada kondisi ini, peran negara sebagai regulator dikedepankan guna menciptakan suasana bisnis atau iklim bisnis yang sehat. Suasana bisnis yang kondusif diharapkan dapat merangsang terciptanya situasi yang kompetitif dan menguntungkan konsumen serta lebih jauh lagi menciptakan kondisi bisnis dan ekonomi yang competitive advantage.
Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia.
Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan publik.
Kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan, tidak dapat lepas dari perubahan wacana dalam proses kebijakan publik. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan criminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil dan kalangan swasta.
Selain sebagai sebuah proses kebijakan kolaboratif, governance juga merupakan sebuah upaya mendekatkan pengambil kebijakan dengan masyarakat berikut masalahnya. Sehingga salah satu agenda kelembagaan dalam governance adalah melakukan reorganisasi hingga ke level terbawah masyarakat negara. Seperti kebijakan desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Prinsip desentralisasi sangat memungkinkan pengambilan kebijakan yang efektif karena pengambil kebijakan sangat dekat dengan level terbawah masyarakat berikut masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam konteks kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi
sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, praktek selama ini belum mengikutsertakan secara integral aktor-aktor non SPP. Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua tahap. Pertama adalah kebijakan pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana. Kedua adalah kebijakan penegakan hukum (reaktif formal) setelah tindak pidana terjadi. Ranah kebijakan kriminal kedua memang menjadi kewenangan penuh SPP. Hanya SPP yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan pidana kepada pelaku kejahatan. Selain adanya aturan hukum formal yang mendasari kewenangan penuh tersebut, keikutsertaan masyarakat dalam reaksi formal sangat berpotensi memunculkan anarki. Namun demikian, dalam kebijakan kriminal pencegahan tindak pidana ekonomi, lembaga-lembaga Negara dalam SPP tidak dapat lagi mendominasi. Aktor-aktor di masyarakat justru merupakan sumber daya yang menentukan efektivitas kebijakan. Aktor-aktor di masyarakatlah yang lebih mengetahui realitas tindak pidana ekonomi karena masalah tersebut merupakan bagian dari kehidupannya, meskipun kadang masyarakat kurang menyadari bahwa suatu perbuatan ekonomi tertentu sebenarnya merupakan tindak pidana ekonomi.
Oleh sebab itu, perlu dirumuskan suatu pendekatan untuk menentukan kategorisasi perbuatan-perbuatan apa di bidang perekonomian yang dapat diancam dengan pidana. Dengan perkataan lain kapankah hukum pidana dapat “masuk” dalam ketentuan di bidang perekonomian. Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu sifat dari hokum pidana. Perlu dipahami bahwa hukum pidana mempunyai sifat “derita”, oleh karena pidana merupakan suatu tindakan yang menyebabkan rasa derita bagi mereka yang dijatuhinya. Selain itu, harus ditentukan apakah hukum pidana masih dianggap sebagai “ultimum remedium”, ataukah harus digunakan sebagai “premum remedium”.
Persoalan utama lainnya adalah penentuan prioritas aspek-aspek apa di bidang perekonomian yang mutlak harus diberikan perlindungan dengan pengenaan sanksi pidana. Dengan perkataan lain, kaedah apa dalam perekonomian yang tidak bisa tidak harus dilindungi melalui hukum pidana. Ukuran yang mungkin dapat diutarakan adalah perlindungan terhadap keselamatan bangsa (nation). Dalam arti sempit barangkali dapat dianalogkan dengan kepentingan umum. Apabila keselamatan umum akan terancam, maka seyogyanya ancaman sanksi pidana dijatuhkan. Hanya saja akan timbul permasalahan, apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum itu. Untuk menentukan kriteria dari kepentingan umum ini tentunya perlu suatu ketegasan pengertian “kepentingan umum”.
Penentuan karakteristik yang khusus tentang tindak pidana ekonomi tidak dapat terlepas dari penentuan kaidah dalam bidang perekonomian itu sendiri. Dalam perumusannya dibutuhkan pihak-pihak yang amat mendalami kaedah-kaedah di bidang perekonomian, yaitu mereka yang berkecimpung di bidang perekonomian. Selain itu diperlukan juga landasan pemikiran yang dapat diterima secara universal sehingga tidak terkesan ada kepentingan subjektif. Namun, harus disadari bahwa materi kandungan suatu undang-undang akan sangat di pengaruhi oleh politik hukum dari kekuatan politik yang berkuasa. Politik hukum merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunarjati Hartono pernah mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan dan penidakberlakuan hukum–hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam Undang-Undang Dasar sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
Dalam ilmu hukum dikenal adanya teori absolut yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan berdasarkan substansi yang terkandung dalam perundang-undangan. Jadi, undang-undang itu sendiri yang menentukan bahwa suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana.30 Dengan skema seperti itu, diharapkan perumusan substansi undang-undang bidang perkonomian, sejak dari awal telah mampu menentukan kapan hukum pidana sudah dapat dipergunakan. Meskipun demikian, bukan berarti seluruh pengaturannya diserahkan kepada mereka yang berkecimpung dalam dunia bisnis, karena dikhawatirkan kepentingan-kepentingan sepihak akan lebih mendominasi dan menyisihkan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat banyak.
Suatu hal yang harus diperhatikan dalam penentuan perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi, adalah cepatnya dinamisme dalam dunia perekonomian. Pada masa tertentu, suatu perbuatan dianggap melanggar hukum, tetapi pada saat yang lain perbuatan tersebut sudah bukan lagi suatu pelanggaran hukum. Itulah sebabnya selayaknya pengaturan hukum pidana ekonomi ditempatkan dalam suatu ketentuan hukum pidana khusus, terpisah dengan ketentuan umum hukum pidana. Belum lagi tentang sulitnya pembuktian dan hal-hal lain yang timbul dalam proses penyelidikan, penyidikan maupun pemeriksaan di bidang perekonomian sehingga wajar apabila untuk hukum pidana ekonomi diatur dalam ketentuan hukum pidana khusus.
Hal di atas juga merupakan dasar mengapa sejauh ini di banyak Negara pengaturan tentang tindak pidana ekonomi ini ditempatkan dalam ketentuan hukum pidana khusus. Sebagai contoh dapat disebutkan De Wet van het Economische Delicten di negeri Belanda. Undang-undang ini mengatur baik pidana formal maupun pidana materiilnya. Terdapat banyak penyimpangan dari ketentuan pidana umum dalam undang-undang itu yang tidak lain didasarkan sifat khusus di bidang perekomian.
Sumber:
Nama / NPM : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar