Kebijakan
Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi
di Indonesia
Oleh:
Iza Fadri
Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl.
Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta
JURNAL
HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455
Aspek-aspek socio-legal yang perlu
dipertimbangkan dan mendapat perhatian serius dari Pemerintah dalam rangka
Pembaruan Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Pendekatan sistem sebagai bagian dari teori
manajemen, ketika dikonstruksikan ke dalam suatu pencapaian ide atau tujuan
dirasakan sangat relevan dalam upaya menerangkan proses konsepsi ilmu secara
menyeluruh. Pendekatan sistem sebagai suatu bentuk telaah manajerial secara
umum juga dapat dimanfaatkan untuk menerangkan permasalahan hukum, baik
ditingkat teori maupun dalam implementasinya. Dalam kerangka teori pendekatan
sistem, secara mudah dapat dicerna melalui teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound yaitu bahwa hokum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering), yaitu penggunaan hokum secara sadar untuk mencapai suatu tertib
atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan
perubahan-perubahan yang diinginkan.
Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa
sistem hukum terdiri dari
3 (tiga) elemen, pertama, stuktur hukum (legal stucture), kedua, substansi
hokum (legal substantiance) dan ketiga, budaya hukum (legal culture). Ketiga
elemen legal system tersebut merupakan jalinan keterpaduan yang saling mengisi
dan melengkapi. Dalam ilustrasi Friedman dijelaskan, “another way to visualize
the three elements of law is to imagine legal ’stucture’ as a kind of machine.
Substance is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is
whatever or whoever decides to turn the machineon and off and determines how it
will be used”.
Kerangka pemikiran Friedman di atas dari perspektif
sistem cukup relevan untuk mencermati timbulnya fenomena tindak pidana ekonomi
dalam kegiatan perekonomian.
Apabila dicoba untuk mengamati hubungan antara hukum dengan ekonomi,
maka sepintas lalu kelihatannya di antara keduanya tidak ada hubungan. Ekonomi
sebagai suatu tindakan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan fisik
lebih bisa dimasukkan ke dalam kategori das Sein. Hukum sebagai suatu system norma-norma
yang dibuat untuk mendisiplinkan tingkah laku manusia termasuk ke dalam
kategori das Sollen. Dengan cara pengelompokkan seperti itu, memang pengkajian
mengenai hukum tidak akan bertemu dengan ekonomi, sebab pengkajian itu berkisar
pada masalah penegasan mengenai makna logis yang setepatnya dari sistem hukum,
sehingga hukum dapat dilihat sebagai sistem yang terpadu secara logis, bebas
dari adanya kontradiksi-kontradiksi di dalam tubuh sistem itu.
Apabila hukum dilihat dari keberlakuannya secara
empirik, maka di antara keduanya
dapat dilihat adanya hubungan.33 Pertautan antara hukum dan ekonomi itu
tampil, oleh karena apabila ditelaah keberlakuan empirik hukum, harus dapat dilihat
perilaku manusia itu sebagaian didasari oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.34
Perbuatan seseorang yang tampak sebagai suatu kelakuan hukum, oleh karena
kelakuan tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang diharuskan untuk itu,
belumlah tentu apabila ia di dorong oleh motif untuk mentaati hukum.
Fakta timbulnya tindak pidana ekonomi merupakan
kontribusi dari kondisi struktur,
kultur, dan substansi yang kurang sehat menjadi tidak terbantahkan. Sebagai ilustrasi,
maraknya penggunaan piranti bajakan di lingkungan adalah karena masyarakat
begitu permisif dengan produk bajakan tersebut. Sebagian masyarakat mungkin
mengetahui bahwa hak intelektual atas produk-produk asli dilindungi oleh undang-undang,
namun karena kultur masyarakat kita yang enggan berperkara, maka mereka acuh
melihat disekitarnya beredar piranti bajakan. Di samping itu kondisi struktur
hukum yang tidak sehat seperti masih tingginya ego sektoral antar aparat
penegak hukum, koordinasi yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional
serta dukungan logistik yang tidak memadai juga turut berkontribusi bagi
timbulnya tindak pidana ekonomi. Situasi seperti itu kadang diperkeruh dengan kualitas
substansi undang-undang yang tidak dapat diterapkan (notapplicable) akibat adanya
transplantasi hukum (legal transplantation).
Untuk mewujudkan harapan bahwa kebijakan kriminal
penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat menciptakan iklim yang akomodatif
bagi kegiatan usaha, maka
hukum seyogiyanya ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang timbul dalam masyarakat secara teratur, yang dinamakan fungsi integrasi.
Oleh karena itu, meneruskan pemahaman kita mengenai sistem hokum sebagaimana
diuraikan di muka, akan diamati proses saling pertukaran di antara sistem-sistem
dalam bentuk hubungan masukan dan keluaran dengan hukum sebagai titik pusatnya.
Pada waktu terjadi tindak pidana ekonomi, maka hukum
pidana ekonomi memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar
pelanggaran itu diselesaikan. Pembiaran terhadap pelanggaran hukum itu tanpa
penyelesaian akan menghambat
terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat
itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatankekuatan dalam
masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama
yang produktif. Pada saat hukum mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai
dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan
pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya
diubah menjadi keluaran-keluaran. Masukan-masukan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama,
masukan di bidang ekonomi. Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan
bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaian sengketa
itu dilihat sebagai suatu proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif.
Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan
mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya pada waktu yang
akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran antara proses
integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini menghasilkan keluaran
yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan
hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak, kewajibankewajiban, pertanggung
jawaban, dan lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari
pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan
yang benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang
ekonomi tersebut. Contoh mengenai hal ini adalah Keputusan Hoge Raad mengenai
perluasan penafsiran terhadap Pasal 1401 Bugerlijk Wetboek, yaitu mengenai
perbuatan melawan hukum pada tanggal 31 Januari 1919.
Kedua,
masukan bidang politik. Proses politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan
yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi
dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Hukum, dalam hal ini pengadilan, menerima masukan dari sektor politik
ini dalam bentuk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk
tersebut secara konkret dan eksplisit tercantum dalam hokum positif dan menjadi
pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya. Akan ganti bagi masukan tersebut, pengadilan memutuskan untukmemberikan
legitimasinya (atau tidak) kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia
dikenal sebagai masalah hak menguji undang-undang.
Ketiga,
masukan bidang budaya. Pertukaran yang terjadi di sini bisa dikatakan sebagai
yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme
pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama
apabila dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan.
Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses
sosialisasi tersebut di atas. Proses ini akan bekerja dengan cara mendorong rakyat
untuk menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai
pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran
yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
Untuk memudahkan perumusan kebijakan kriminal
penanggulangan tindak pidana
ekonomi dapat dikemukakan bagan sebagai berikut :
Penutup
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk
terminologi hukum secara faktual mengalami
perubahan pemaknaan dari waktu kewaktu. Secara substantif tindak pidana
ekonomi berawal dari pelanggaran terhadap etika bisnis, selanjutnya berkembang
menjadi pelanggaran hukum pidana ekonomi ketika substansi pelanggaran tersebut
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang ekonomi
yang tersebar.
Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana
ekonomi sebagai bentuk kebijakan
publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, masih menitik
beratkan pada upaya kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan dan
penegakan hukum oleh SPP. Aktor-aktor non SPP belum diberdayakan secara maksimal
dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi melalui upaya pencegahan.
Pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak
pidana ekonomi membutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang meliputi kekuatan ekonomi, politik dan
kebudayaan, sehingga dapat menciptakan suatu proses kerjasama yang produktif.
Kekuatan-kekuatan dalam masyarakat tersebut selanjutnya diperinci dalam
beberapa aspek socio-legal
seperti Kebijakan sosial (yang dirumuskan dalam RPJM dan RPJP), Kebijakan
social walfare/prosperity, Kebijakan social defence/security, Kebijakan hukum, Kebijakan
hukum pidana ekonomi, dan Kebijakan hukum yang integral.
Dalam rangka menghadapi liberalisasi perdagangan
dunia, maka diperlukan penataan
hukum pidana ekonomi yang dapat merespon perkembangan internasional. Untuk itu
diperlukan harmonisasi antara hukum pidana ekonomi dan hukum internasional
dengan tetap memperhatikan kondisi nasional. Indonesia harus mampu menciptakan
pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi yang
akomodatif ke arah terciptanya masyarakat yang memiliki pemikiran era globalisasi
perdagangan dunia.
Dalam rangka menciptakan suatu sistem hukum yang
kondusif kondusif bagi kegiatan
perekonomian, khususnya untuk merespon perkembangan politik dan perekonomian
nasional serta internasional, perlu dibangkitkan budaya hukum yang responsif
dengan memberikan kesempatan kepada berbagai lapisan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan hukum.
Guna menciptakan hukum pidana ekonomi yang dapat
mengakomodasi kepentingan hukum di satu sisi dan kepentingan perekonomian di
sisi lain, maka dibutuhkan
suatu kajian yang menyeluruh dan terintegrasi secara sistemik. Oleh karenanya
diperlukan suatu rumusan hukum pidana ekonomi yang dapat diimplementasikan
dalam suatu bentuk kebijakan. Pemenuhan terhadap cita-cita ini mensyaratkan
adanya elaborasi yang terpadu secara lintas disiplin keilmuan, misalnya dari
disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, hukum, lingkungan dll. Adanya elaborasi dari berbagai
disiplin ilmu, diharapkan akan mampu menghasilkan suatu rumusan hokum pidana
ekonomi yang komprehensif dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.
Sumber:
Nama / NPM : Frely Revalno
Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar