syalom


widget

welcome


widget

Jumat, 03 Mei 2013

Review 4: Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia

Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Ekonomi di Indonesia

Oleh:

Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta


JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 430 – 455


Aspek-aspek socio-legal yang perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian serius dari Pemerintah dalam rangka Pembaruan Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia

Pendekatan sistem sebagai bagian dari teori manajemen, ketika dikonstruksikan ke dalam suatu pencapaian ide atau tujuan dirasakan sangat relevan dalam upaya menerangkan proses konsepsi ilmu secara menyeluruh. Pendekatan sistem sebagai suatu bentuk telaah manajerial secara umum juga dapat dimanfaatkan untuk menerangkan permasalahan hukum, baik ditingkat teori maupun dalam implementasinya. Dalam kerangka teori pendekatan sistem, secara mudah dapat dicerna melalui teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu bahwa hokum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social engineering), yaitu penggunaan hokum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.
 Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) elemen, pertama, stuktur hukum (legal stucture), kedua, substansi hokum (legal substantiance) dan ketiga, budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen legal system tersebut merupakan jalinan keterpaduan yang saling mengisi dan melengkapi. Dalam ilustrasi Friedman dijelaskan, “another way to visualize the three elements of law is to imagine legal ’stucture’ as a kind of machine. Substance is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machineon and off and determines how it will be used”.
Kerangka pemikiran Friedman di atas dari perspektif sistem cukup relevan untuk mencermati timbulnya fenomena tindak pidana ekonomi dalam kegiatan perekonomian. Apabila dicoba untuk mengamati hubungan antara hukum dengan ekonomi, maka sepintas lalu kelihatannya di antara keduanya tidak ada hubungan. Ekonomi sebagai suatu tindakan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan fisik lebih bisa dimasukkan ke dalam kategori das Sein. Hukum sebagai suatu system norma-norma yang dibuat untuk mendisiplinkan tingkah laku manusia termasuk ke dalam kategori das Sollen. Dengan cara pengelompokkan seperti itu, memang pengkajian mengenai hukum tidak akan bertemu dengan ekonomi, sebab pengkajian itu berkisar pada masalah penegasan mengenai makna logis yang setepatnya dari sistem hukum, sehingga hukum dapat dilihat sebagai sistem yang terpadu secara logis, bebas dari adanya kontradiksi-kontradiksi di dalam tubuh sistem itu.
Apabila hukum dilihat dari keberlakuannya secara empirik, maka di antara keduanya dapat dilihat adanya hubungan.33 Pertautan antara hukum dan ekonomi itu tampil, oleh karena apabila ditelaah keberlakuan empirik hukum, harus dapat dilihat perilaku manusia itu sebagaian didasari oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.34 Perbuatan seseorang yang tampak sebagai suatu kelakuan hukum, oleh karena kelakuan tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang diharuskan untuk itu, belumlah tentu apabila ia di dorong oleh motif untuk mentaati hukum.
Fakta timbulnya tindak pidana ekonomi merupakan kontribusi dari kondisi struktur, kultur, dan substansi yang kurang sehat menjadi tidak terbantahkan. Sebagai ilustrasi, maraknya penggunaan piranti bajakan di lingkungan adalah karena masyarakat begitu permisif dengan produk bajakan tersebut. Sebagian masyarakat mungkin mengetahui bahwa hak intelektual atas produk-produk asli dilindungi oleh undang-undang, namun karena kultur masyarakat kita yang enggan berperkara, maka mereka acuh melihat disekitarnya beredar piranti bajakan. Di samping itu kondisi struktur hukum yang tidak sehat seperti masih tingginya ego sektoral antar aparat penegak hukum, koordinasi yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional serta dukungan logistik yang tidak memadai juga turut berkontribusi bagi timbulnya tindak pidana ekonomi. Situasi seperti itu kadang diperkeruh dengan kualitas substansi undang-undang yang tidak dapat diterapkan (notapplicable) akibat adanya transplantasi hukum (legal transplantation).
Untuk mewujudkan harapan bahwa kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat menciptakan iklim yang akomodatif bagi kegiatan usaha, maka hukum seyogiyanya ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur, yang dinamakan fungsi integrasi. Oleh karena itu, meneruskan pemahaman kita mengenai sistem hokum sebagaimana diuraikan di muka, akan diamati proses saling pertukaran di antara sistem-sistem dalam bentuk hubungan masukan dan keluaran dengan hukum sebagai titik pusatnya.
Pada waktu terjadi tindak pidana ekonomi, maka hukum pidana ekonomi memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar pelanggaran itu diselesaikan. Pembiaran terhadap pelanggaran hukum itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatankekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran. Masukan-masukan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, masukan di bidang ekonomi. Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai suatu proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya pada waktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak, kewajibankewajiban, pertanggung jawaban, dan lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi tersebut. Contoh mengenai hal ini adalah Keputusan Hoge Raad mengenai perluasan penafsiran terhadap Pasal 1401 Bugerlijk Wetboek, yaitu mengenai perbuatan melawan hukum pada tanggal 31 Januari 1919.
Kedua, masukan bidang politik. Proses politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum, dalam hal ini pengadilan, menerima masukan dari sektor politik ini dalam bentuk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkret dan eksplisit tercantum dalam hokum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti bagi masukan tersebut, pengadilan memutuskan untukmemberikan legitimasinya (atau tidak) kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak menguji undang-undang.
Ketiga, masukan bidang budaya. Pertukaran yang terjadi di sini bisa dikatakan sebagai yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi tersebut di atas. Proses ini akan bekerja dengan cara mendorong rakyat untuk menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
Untuk memudahkan perumusan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat dikemukakan bagan sebagai berikut :




Penutup
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk terminologi hukum secara faktual mengalami perubahan pemaknaan dari waktu kewaktu. Secara substantif tindak pidana ekonomi berawal dari pelanggaran terhadap etika bisnis, selanjutnya berkembang menjadi pelanggaran hukum pidana ekonomi ketika substansi pelanggaran tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang ekonomi yang tersebar.
Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, masih menitik beratkan pada upaya kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum oleh SPP. Aktor-aktor non SPP belum diberdayakan secara maksimal dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi melalui upaya pencegahan.
Pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi membutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang meliputi kekuatan ekonomi, politik dan kebudayaan, sehingga dapat menciptakan suatu proses kerjasama yang produktif. Kekuatan-kekuatan dalam masyarakat tersebut selanjutnya diperinci dalam beberapa aspek socio-legal seperti Kebijakan sosial (yang dirumuskan dalam RPJM dan RPJP), Kebijakan social walfare/prosperity, Kebijakan social defence/security, Kebijakan hukum, Kebijakan hukum pidana ekonomi, dan Kebijakan hukum yang integral.
Dalam rangka menghadapi liberalisasi perdagangan dunia, maka diperlukan penataan hukum pidana ekonomi yang dapat merespon perkembangan internasional. Untuk itu diperlukan harmonisasi antara hukum pidana ekonomi dan hukum internasional dengan tetap memperhatikan kondisi nasional. Indonesia harus mampu menciptakan pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi yang akomodatif ke arah terciptanya masyarakat yang memiliki pemikiran era globalisasi perdagangan dunia.
Dalam rangka menciptakan suatu sistem hukum yang kondusif kondusif bagi kegiatan perekonomian, khususnya untuk merespon perkembangan politik dan perekonomian nasional serta internasional, perlu dibangkitkan budaya hukum yang responsif dengan memberikan kesempatan kepada berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan hukum.
Guna menciptakan hukum pidana ekonomi yang dapat mengakomodasi kepentingan hukum di satu sisi dan kepentingan perekonomian di sisi lain, maka dibutuhkan suatu kajian yang menyeluruh dan terintegrasi secara sistemik. Oleh karenanya diperlukan suatu rumusan hukum pidana ekonomi yang dapat diimplementasikan dalam suatu bentuk kebijakan. Pemenuhan terhadap cita-cita ini mensyaratkan adanya elaborasi yang terpadu secara lintas disiplin keilmuan, misalnya dari disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, hukum, lingkungan dll. Adanya elaborasi dari berbagai disiplin ilmu, diharapkan akan mampu menghasilkan suatu rumusan hokum pidana ekonomi yang komprehensif dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.


Sumber:

Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar