Oleh
:
Hj. Norvadewi
Vol. IV, No. 2, Desember 2007
Abstract:
The
improvement of Islamic financial institutions in Indonesia has been grown
rapidly. The alternative form such as Baitul Mal wat Tamwil (BMT) is needed to
serve this group. The interesting point of BMT is that institution has
any
relationship with the Cooperative Departement of Indonesia, because the
majority of BMTs are based on cooperative form. There were relevant basic
concept relationships between cooperatie and BMT management but
there
was a fundamental different between ooperative and BMTs that is the practice of
“Riba”.
Pendahuluan
Keinginan
dilaksanakannya ekonomi Islam timbul dari kesadaran bahwa Islam adalah ajaran
yang komprehensif dan universal yang di dalamnya memuat ajaran segenap aspek
kehidupan manusia termasuk bidang ekonomi. Selain itu kegagalan system ekonomi
sosialis dan kapitalis dengan terjadinya krisis moneter sejak
tahun
1997 berdampak pada perekonomian hampir semua negara di dunia. Krisis yang
menyebabkan ketidakstabilan ekonomi menjadikan setiap negara mencari solusi
dalam mengatasi krisis akan mampu bertahan. Di Indonesia sendiri, dampak krisis
global menimpa hamper semua sektor kehidupan, terutama bidang ekonomi, hal ini
dapat dilihat dari ketidak stabilan nilai tukar rupiah, gelombang PHK yang
semakin
kencang bahkan banyaknya usaha-usaha ekonomi mikro yang mengalami kebangkrutan.
Dalam kondisi seperti ini, system ekonomi Islam dijadikan sebagai salah satu
solusi dalam mengatasi krisis.
Di
Indonesia, pelaksanaan sistem ekonomi Islam yang sudah dimulai sejak tahun 1992
semakin marak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan Islam baik bank
maupun non bank. Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Mal
wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat Islam lapisan bawah. Kelahiran
BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan
dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil
yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam Penulis
adalah Dosen Tetap Jurusan Syariah Muamalah STAIN Samarinda rangka meningkatkan
kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syariah dan prinsip
koperasi.
BMT
yang berkembang didirikan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap;
pertama dapat dimulai sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah
mencapai nilai asset tertentu kemudian menyiapkan diri ke dalam badan hukum
koperasi. Jika mencapai keadaan di mana para anggota dan pengurus siap dengan
baik untuk mengelola koperasi, maka BMT dapat dikembangkan menjadi badan hukum
koperasi.
Kebijakan
ini dilakukan karena legalitas usaha yang diakui di Indonesia hanya tiga :
Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi. Dengan
demikian, pilihan legalitas paling logis bagi BMT adalah koperasi. Maka badan
hukum dan model BMT adalah koperasi bukan lembaga keuangan, yayasan bukan pula
KSM atau yang lainnya. Dengan demikian pedoman kerja,
penilaian
kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan Departemen Koperasi, bukan yang
lainnya.
Makalah
ini akan mengupas mengenai badan hukum koperasi untuk BMT melalui tinjauan
syariah yang akan dilihat melalui kesesuaian konsep koperasi dengan nilai-nilai
syariah Islam dan bagaimana hukum berkoperasi dalam Islam kemudian telaah
kritis terhadap badan hukum koperasi untuk BMT.
Hukum
Koperasi Dalam Islam
Pembahasan mengenai spektrum hukum Islam sangat luas
dan di dalam penetapan hukumnya dapat melalui prosedur dan metode yang beragam.
Jika hukum suatu masalah tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al Qur’an dan
Sunnah, maka penetapan hukumnya dapat dilakukan melalui ijtihad, sehingga
terdapat metode-metode penerapan hukum secara qiyas, ijma, istislah,
istihsan dan lainnya yang biasa disebut hukum dzanni. Hal ini
terjadi pula di dalam penetapan hukum berkoperasi.
Menurut Mahmud Syaltut, koperasi (syirkah
ta’awuniyah) adalah suatu bentuk syirkah baru yang belum dikenal oleh
fuqaha terdahulu yang membagi syirkah menjadi 4 macam, yaitu : Syirkah Abdan,
Mufawadah, Wujuh, dan Inan.
Sebagian ulama menganggap koperasi (syirkah
ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yaitu suatu perjanjian kerjasama
antara dua orang atau lebih, yang mana satu pihak menyediakan modal sedang pihak
lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan)
menurut perjanjian.
Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat
tersebut, sebab syirkah ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dirumuskan
oleh para fuqaha (satu pihak menyediakan modal dan pihak lain melakukan usaha)
karena syirkah ta’awuniyah (yang ada di Mesir), modal usahanya berasal dari
anggota pemegang saham dan usaha itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang
dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan jika pemegang
saham turut mengelola maka ia berhak digaji sesuai dengan sistem yang berlaku.
Menurut Syaltut, koperasi merupakan syirkah
baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang mempunyai banyak manfaat,
yaitu memberi keuntungan kepada para anggota pemegang saham, memberi lapangan
kerja kepada para karyawannya, member bantuan keuangan dari sebagian hasil
usaha koperasi untuk
mendirikan
tempat ibadah, sekolah dan sebagainya yang di dalamnya tidak ada unsur
kezaliman dan pemerasan, dikelola secara demokratis dan terbuka serta membagi
keuntungan dan kerugian kepada semua anggota dengan ketentuan yang berlaku,
sehingga syirkah ini dibenarkan dalam Islam.
Sedangkan Abdurrahman Isa menyatakan bahwa syirkah
ta’awuniyah (koperasi) adalah syirkah musahamah, artinya syirkah yang
dibentuk melalui pembelian saham-saham oleh para anggotanya. Karena itu
syirkah ini adalah syirkah amwal (badan kumpulan modal) bukan syirkah
asykhas (badan kumpulan orang), karena di dalam koperasi yang tampak
bukan kepribadian para anggota pemilik saham. Menurut Isa, koperasi
boleh di dalam Islam dan halal deviden yang
diterima
para anggota dari hasil usaha koperasi selama koperasi itu tidak mempraktekkan
usaha yang mengandung riba dan menjalankan usaha-usaha yang haram.
Asnawi Hasan menemukan adanya kesesuaian dengan
etika Islam dan menyatakan wajib bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam
membina dan mengembangkan kehidupan berkoperasi dan merupakan dosa bagi mereka
yang menghalang-halangi perkembangan koperasi itu.
Khalid Abdurrahman Ahmad, penulis Timur Tengah berpendapat
haram bagi umat Islam berkoperasi dan beliau mengharamkan pula harta yang
diperoleh dari koperasi. Alasan pengharaman koperasi yang dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah al-Jam’iyah al-Ta’awuniyah, pertama disebabkan karena
prinsipprinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
oleh syariah di antaranya persyaratan anggota yang hanya membatasi satu
golongan saja sehingga dianggap akan melahirkan kelompok yang eksklusif. Kedua,
pembagian keuntungan koperasi yang dilihat dari segi pembelian atau
penjualan anggota di
koperasinya.
Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerjasama
dalam Islam (secara klasik) hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar
modal, jerih payah atau keduanya. Alasan selanjutnya adalah didasarkan
penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan anggota
dari golongan ekonomi lemah yang dianggap hanya bermaksud untuk menentramkan
mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka dengan
ucapan dan teori-teori utopis.
Pendapat ini didukung oleh Taqyudin An-Nabhani
dengan alasan; kesepakatan dalam koperasi sebenarnya tidak pernah terjadi karena
hanya modal yang melakukan perseroan, koperasi dari segi asasnya tidak pernah
dianggap terbentuk dan tidak mempunyai badan, pembagian laba menurut hasil
pembelian atau produksi, bukan menurut modal atau kerja.
Alasan pengharaman ini merupakan hasil ijithad yang
bersifat dzan dan hal itu juga tidak seluruhnya tepat karena di
Indonesia, anggota koperasi tidak hanya diperuntukkan bagi golongan ekonomi lemah
karena seluruh rakyat Indonesia dianjurkan untuk berkoperasi. Selain itu
penarikan kesimpulan bahwa dalam usaha koperasi secara klasik atau dalam
tradisi Islam tidak mengenal pembagian keuntungan atas dasar pembelian dan
penjualan (anggota di koperasinya) yang
kemudian
dijadikan dasar penolakan terhadap koperasi, namun kesimpulan ini tidak
ditandai oleh adanya ijma’ (konsensus) ulama terhadapnya.
Namun penetapan hukum wajib berkoperasi bagi umat
Islam di Indonesia juga belum diterima. Karena, pertama konstitusi meyakini bahwa
ada tiga bangun usaha di Indonesia yaitu koperasi, swasta dan BUMN walaupun terdapat
arah koperasi dijadikan soko guru perekonomian nasional. Kedua, sumber-sumber
ekonomi bagi umat Islam sangat luas sehingga bisa berkiprah di mana saja, tidak
hanya di koperasi dan ketiga sejak semula koperasi memerlukan kesukarelaan sedangkan
keempat koperasi masih terbatas jangkauannya sehingga masih sulit bagi rakyat
untuk berkoperasi.
Selain melihat nilai-nilai etis koperasi, penetapan hokum
koperasi dapat dipertimbangkan melalui kaidah Ushul al Fiqh, dimana
hukum Islam mengijinkan kepentingan masyarakat atau kesejahteraan bersama
melalui prinsip istislah atau al mashlaha. Ini berarti ekonomi
Islam harus memberi prioritas pada kesejahteraan
bersama
yang merupakan kepentingan masyarakat dan jika menyoroti fungsi koperasi
sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan
alat pendemokrasian ekonomi, maka prinsip istislah dipenuhi oleh
koperasi.
Demikian juga dilihat dari prinsip istihsan (metode
preferensi), koperasi dapat dilihat dar isegi makro maupun mikro. Pada tingkat makro
berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang paling dekat
dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme, sedangkan pada tingkat mikro
berarti melihat terpenuhinya prinsip hubungan sosial secara saling menyukai,
yang dicerminkan pada prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip
mementingkan pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.
Kesemuanya ini memberikan jalan ke arah istimbath
(penetapan hukum syariah) terhadap koperasi yang tidak lagi mewajibkan atau
mengharamkan bolehnya berkoperasi. Berdasarkan hasil istimbath dengan
menggunakan ijtihad, maka kembali kepada sifat koperasi sebagai praktek
muamalah, maka ditetapkan hukum koperasi adalah mubah yang berarti
diperbolehkan. Sebagaimana diketahui bahwa asal usul hukum muamalah dibolehkan
selain hal-hal yang secara tegas dilarang oleh syariat.
Nama / NPM : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun :
2EB09 / 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar