syalom


widget

welcome


widget

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW 1: TINJAUAN SYARIAH TERHADAP BADAN HUKUM KOPERASI UNTUK BAITUL MAL WAT TAMWIL (BMT)


Oleh :
Hj. Norvadewi
 Vol. IV, No. 2, Desember 2007

Abstract: The improvement of Islamic financial institutions in Indonesia has been grown rapidly. The alternative form such as Baitul Mal wat Tamwil (BMT) is needed to serve this group. The interesting point of BMT is that institution has
any relationship with the Cooperative Departement of Indonesia, because the majority of BMTs are based on cooperative form. There were relevant basic concept relationships between cooperatie and BMT management but
there was a fundamental different between ooperative and BMTs that is the practice of “Riba”.

Pendahuluan
Keinginan dilaksanakannya ekonomi Islam timbul dari kesadaran bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif dan universal yang di dalamnya memuat ajaran segenap aspek kehidupan manusia termasuk bidang ekonomi. Selain itu kegagalan system ekonomi sosialis dan kapitalis dengan terjadinya krisis moneter sejak
tahun 1997 berdampak pada perekonomian hampir semua negara di dunia. Krisis yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi menjadikan setiap negara mencari solusi dalam mengatasi krisis akan mampu bertahan. Di Indonesia sendiri, dampak krisis global menimpa hamper semua sektor kehidupan, terutama bidang ekonomi, hal ini dapat dilihat dari ketidak stabilan nilai tukar rupiah, gelombang PHK yang
semakin kencang bahkan banyaknya usaha-usaha ekonomi mikro yang mengalami kebangkrutan. Dalam kondisi seperti ini, system ekonomi Islam dijadikan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi krisis.
Di Indonesia, pelaksanaan sistem ekonomi Islam yang sudah dimulai sejak tahun 1992 semakin marak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan Islam baik bank maupun non bank. Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat Islam lapisan bawah. Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syariah Muamalah STAIN Samarinda rangka meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi.
BMT yang berkembang didirikan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap; pertama dapat dimulai sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah mencapai nilai asset tertentu kemudian menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi. Jika mencapai keadaan di mana para anggota dan pengurus siap dengan baik untuk mengelola koperasi, maka BMT dapat dikembangkan menjadi badan hukum koperasi.
Kebijakan ini dilakukan karena legalitas usaha yang diakui di Indonesia hanya tiga : Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi. Dengan demikian, pilihan legalitas paling logis bagi BMT adalah koperasi. Maka badan hukum dan model BMT adalah koperasi bukan lembaga keuangan, yayasan bukan pula KSM atau yang lainnya. Dengan demikian pedoman kerja,
penilaian kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan Departemen Koperasi, bukan yang lainnya.
Makalah ini akan mengupas mengenai badan hukum koperasi untuk BMT melalui tinjauan syariah yang akan dilihat melalui kesesuaian konsep koperasi dengan nilai-nilai syariah Islam dan bagaimana hukum berkoperasi dalam Islam kemudian telaah kritis terhadap badan hukum koperasi untuk BMT.

Hukum Koperasi Dalam Islam
Pembahasan mengenai spektrum hukum Islam sangat luas dan di dalam penetapan hukumnya dapat melalui prosedur dan metode yang beragam. Jika hukum suatu masalah tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah, maka penetapan hukumnya dapat dilakukan melalui ijtihad, sehingga terdapat metode-metode penerapan hukum secara qiyas, ijma, istislah, istihsan dan lainnya yang biasa disebut hukum dzanni. Hal ini terjadi pula di dalam penetapan hukum berkoperasi.
Menurut Mahmud Syaltut, koperasi (syirkah ta’awuniyah) adalah suatu bentuk syirkah baru yang belum dikenal oleh fuqaha terdahulu yang membagi syirkah menjadi 4 macam, yaitu : Syirkah Abdan, Mufawadah, Wujuh, dan Inan.
Sebagian ulama menganggap koperasi (syirkah ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yaitu suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, yang mana satu pihak menyediakan modal sedang pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian.
Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab syirkah ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dirumuskan oleh para fuqaha (satu pihak menyediakan modal dan pihak lain melakukan usaha) karena syirkah ta’awuniyah (yang ada di Mesir), modal usahanya berasal dari anggota pemegang saham dan usaha itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan jika pemegang saham turut mengelola maka ia berhak digaji sesuai dengan sistem yang berlaku. Menurut Syaltut, koperasi merupakan syirkah  baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang mempunyai banyak manfaat, yaitu memberi keuntungan kepada para anggota pemegang saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, member bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk
mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya yang di dalamnya tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan, dikelola secara demokratis dan terbuka serta membagi keuntungan dan kerugian kepada semua anggota dengan ketentuan yang berlaku, sehingga syirkah ini dibenarkan dalam Islam.
Sedangkan Abdurrahman Isa menyatakan bahwa syirkah ta’awuniyah (koperasi) adalah syirkah musahamah, artinya syirkah yang dibentuk melalui pembelian saham-saham oleh para anggotanya. Karena itu syirkah ini adalah syirkah amwal (badan kumpulan modal) bukan syirkah asykhas (badan kumpulan orang), karena di dalam koperasi yang tampak bukan kepribadian para anggota pemilik saham. Menurut Isa, koperasi boleh di dalam Islam dan halal deviden yang
diterima para anggota dari hasil usaha koperasi selama koperasi itu tidak mempraktekkan usaha yang mengandung riba dan menjalankan usaha-usaha yang haram.
Asnawi Hasan menemukan adanya kesesuaian dengan etika Islam dan menyatakan wajib bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam membina dan mengembangkan kehidupan berkoperasi dan merupakan dosa bagi mereka yang menghalang-halangi perkembangan koperasi itu.
Khalid Abdurrahman Ahmad, penulis Timur Tengah berpendapat haram bagi umat Islam berkoperasi dan beliau mengharamkan pula harta yang diperoleh dari koperasi. Alasan pengharaman koperasi yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-Jam’iyah al-Ta’awuniyah, pertama disebabkan karena prinsipprinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariah di antaranya persyaratan anggota yang hanya membatasi satu golongan saja sehingga dianggap akan melahirkan kelompok yang eksklusif. Kedua, pembagian keuntungan koperasi yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di
koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerjasama dalam Islam (secara klasik) hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, jerih payah atau keduanya. Alasan selanjutnya adalah didasarkan penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan anggota dari golongan ekonomi lemah yang dianggap hanya bermaksud untuk menentramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka dengan ucapan dan teori-teori utopis.
Pendapat ini didukung oleh Taqyudin An-Nabhani dengan alasan; kesepakatan dalam koperasi sebenarnya tidak pernah terjadi karena hanya modal yang melakukan perseroan, koperasi dari segi asasnya tidak pernah dianggap terbentuk dan tidak mempunyai badan, pembagian laba menurut hasil pembelian atau produksi, bukan menurut modal atau kerja.
Alasan pengharaman ini merupakan hasil ijithad yang bersifat dzan dan hal itu juga tidak seluruhnya tepat karena di Indonesia, anggota koperasi tidak hanya diperuntukkan bagi golongan ekonomi lemah karena seluruh rakyat Indonesia dianjurkan untuk berkoperasi. Selain itu penarikan kesimpulan bahwa dalam usaha koperasi secara klasik atau dalam tradisi Islam tidak mengenal pembagian keuntungan atas dasar pembelian dan penjualan (anggota di koperasinya) yang
kemudian dijadikan dasar penolakan terhadap koperasi, namun kesimpulan ini tidak ditandai oleh adanya ijma’ (konsensus) ulama terhadapnya.
Namun penetapan hukum wajib berkoperasi bagi umat Islam di Indonesia juga belum diterima. Karena, pertama konstitusi meyakini bahwa ada tiga bangun usaha di Indonesia yaitu koperasi, swasta dan BUMN walaupun terdapat arah koperasi dijadikan soko guru perekonomian nasional. Kedua, sumber-sumber ekonomi bagi umat Islam sangat luas sehingga bisa berkiprah di mana saja, tidak hanya di koperasi dan ketiga sejak semula koperasi memerlukan kesukarelaan sedangkan keempat koperasi masih terbatas jangkauannya sehingga masih sulit bagi rakyat untuk berkoperasi.
Selain melihat nilai-nilai etis koperasi, penetapan hokum koperasi dapat dipertimbangkan melalui kaidah Ushul al Fiqh, dimana hukum Islam mengijinkan kepentingan masyarakat atau kesejahteraan bersama melalui prinsip istislah atau al mashlaha. Ini berarti ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahteraan
bersama yang merupakan kepentingan masyarakat dan jika menyoroti fungsi koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan alat pendemokrasian ekonomi, maka prinsip istislah dipenuhi oleh koperasi.
Demikian juga dilihat dari prinsip istihsan (metode preferensi), koperasi dapat dilihat dar isegi makro maupun mikro. Pada tingkat makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang paling dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme, sedangkan pada tingkat mikro berarti melihat terpenuhinya prinsip hubungan sosial secara saling menyukai, yang dicerminkan pada prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip mementingkan pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.
Kesemuanya ini memberikan jalan ke arah istimbath (penetapan hukum syariah) terhadap koperasi yang tidak lagi mewajibkan atau mengharamkan bolehnya berkoperasi. Berdasarkan hasil istimbath dengan menggunakan ijtihad, maka kembali kepada sifat koperasi sebagai praktek muamalah, maka ditetapkan hukum koperasi adalah mubah yang berarti diperbolehkan. Sebagaimana diketahui bahwa asal usul hukum muamalah dibolehkan selain hal-hal yang secara tegas dilarang oleh syariat.



Nama / NPM                 : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun                : 2EB09 / 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar