syalom


widget

welcome


widget

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW 2: TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN ILMU MANAJEMEN BISNIS


Oleh :
Burhanuddin

Berisi :
Metode Analisis
III. Metoda Kajian
Metoda yang diterapkan pada kajian ini adalah explorative study yang teknik
studinya menggunakan kombinasi antara:
·        Studi Kepustakaan (Library research), difokuskan kepada literatur perkoperasian, ekonomi koperasi, manajemen umum, manajemen koperasi, serta hasil kajian yang relevan dengan kegiatan ini baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk publikasi melalui internet.
·        Observasi lapangan (Field research), dengan pendekatan expert explorative survey atau expert judgement untuk menghimpun pendapat ahli yang berhubungan dengan tujuan kajian. Kegiatan ini dikaitkan dengan pengumpulan data primer di koperasi sampel dan pelaksanaan seminar di perguruan tinggi tertentu untuk menelaah kajian perkoperasian yang pernah dilakukan.
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data sekunder dihimpun dari :
1. Hasil-hasil kajian perkoperasian (dalam berbagai bentuk seperti disertasi, tesis, skripsi, dll.) dari perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen (dari aspek fungsi dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur organisasi, pembagian tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis koperasi). Buku-buku teks ilmu  manajemen perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan di dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Laporan tahunan dari beberapa koperasi yang menjadi obyek pengamatan.

Data primer berasal dari hasil observasi lapangan, wawancara dengan pengurus, manajer, karyawan, anggota dan pendapat para ahli yang dikumpulkan dalam kegiatan seminar di perguruan tinggi.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengumpulan data dalam kajian ini dilaksanakan dengan cara: 1) Wawancara kepada Pengurus, Manajer, Karyawan, dan Anggota; 2)
Pengamatan langsung pada aktivitas manajemen koperasi; 3) Studi pustaka; 4) Pengumpulan pendapat ahli/pakar di perguruan tinggi melalui forum seminar,konsultasi dan diskusi terbatas.
3.3 Variabel Operasional
Variabel yang digunakan dalam kajian ini meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen, sistim renumerasi, sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi. Setiap variabel kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.
3.4 Teknik Penetapan Sampel
Wilayah kajian ditetapkan secara sengaja di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung. Penetapan propinsi sampel dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas koperasi baik dilihat dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha, jangkauan pelayanan, skala bisnis, heterogenitas keanggotaan, maka obyek observasi difokuskan pada Propinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Selanjutnya, di wilayah kajian lainnya, dilakukan penelaahan hasil kajian perguruan tinggi. Sampel koperasi dikelompokkan kedalam koperasi single purpose (diwakili oleh KSP dan Koperasi Peternakan) dan koperasi multi purpose (diwakili oleh KUD).

Tabel 1. Sebaran Sampel Koperasi Pada Dua Propinsi Wilayah Kajian
Propinsi
KUD
Kopnak
KSP
PUSKUD
GKSI
Jawa Barat
2
1
1
-
1
Sumatera Utara
2
-
1
1
-
 (dalam unit


Tabel 2. Responden
Responden
Jumlah (Orang)
1. Pengurus
18
2. Manajer
9
3. Karyawan
9
4. Anggota
9

3.5 Metoda Analisis Data
Metoda yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini diarahkan untuk menarik kesimpulan dan merekomendasikan berbagai hal berkaitan dengan tujuan Kajian Prospek Koperasi Dari Perspektif Disiplin Ilmu Manajemen Bisnis.


IV. Hasil Kajian
Pemahaman Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan  dengan baik rumusan tugas manajerialnya di koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat diduga kuat adanya korelasi positif dengan performance (kinerja), suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada koperasi yang diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan organisasi yang baik).
Studi khusus mengenai pemahaman konseptual manajemen pengurus dan manajer koperasi sejauh ini masih belum ditemukan. Namun, masih cukup relevan pernyataan filsuf Jerman, Emmanuel Kant (dalam Ropke, 1985) bahwa tidak ada praktek yang berhasil baik tanpa memahami konsepsi teori yang baik pula.
Penelitian Sugiyanto (2006) tentang Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Pengurus dan Manajer Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat, menyimpulkan bahwa secara simultan kompetensi dan komitmen pengurus dan manajer memberikan pengaruh positif baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja keuangan, promosi ekonomi anggota, dan struktur keuangan koperasi.
Fungsi dan Proses Manajemen
4.2.1. Keragaan Fungsi dan Proses Perencanaan
Dimensi Penetapan Tujuan
Dari sembilan koperasi sampel yang diobservasi, hanya satu koperasi (KPSBU Lembang) atau 11,1 persen yang memiliki visi jangka panjang secara tertulis, sementara delapan koperasi lainnya belum memiliki. Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya adalah ”Menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan anggota”. Pada tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092 orang anggota dengan produksi susu per hari 103.384 kg. Data ini mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran susu.
Dalam perumusan tujuan (target) jangka pendek, pada umumnya koperasi sampel merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak terukur. Berikut ini adalah contoh tujuan koperasi yang dikumpulkan dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi (RAPBK) yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT).
Contoh tujuan tersebut masih sangat bersifat normatif dan tidak terukur. Tujuan ini tidak memberikan arahan sebagai pedoman tindakan, alokasi sumberdaya baik sarana fisik, manusia maupun dana. Beberapa literatur yang ditulis oleh Dulfer (1984), Hanel (1984), dan Gupta (1985) menyatakan bahwa perumusan tujuan koperasi seringkali tidak mudah seperti perusahaan kapitalistik dengan shareholders, karena melibatkan berbagai pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Ketidakseimbangan dalam mengakomodasi secara proporsional seringkali menjadi sumber konflik yang membuat organisasi koperasi dalam perjalanannya tidak stabil.
Dulfer (1984) dan Gupta (1985) menyatakan bahwa model koperasi tradisional dan koperasi terpadu yang dalam proses perumusan tujuannya selalu berorientasi pada anggota akan lebih mampu bertahan dan berkembang dibandingkan dengan koperasi tipe pedagang yang dalam proses perencanaannya cenderung didominansi oleh kelompok vested interest (Petani kaya, Pengurus dan atau pihak pemodal kuat).
Dimensi Tindakan
Pada koperasi sampel, ditemukan pada umumnya tujuan ditetapkan secara kualitatif. Konsekwensinya, tindakan dan proses untuk mencapai tujuan juga menjadi tidak jelas. Penggunaan asumsi untuk peramalan target yang digunakan masih sangat sederhana dengan mengambil patokan angka-angka capaian tahun sebelumnya. Sedangkan di perusahaan modern non koperasi sudah digunakan model peramalan matematika dan statistika dengan memasukkan berbagai variabel penentu keberhasilan seperti waktu, musim, dan risiko yang dihitung berdasarkan teori kemungkinan (probabilitas). Hal ini dapat dilakukan karena adanya dukungan teknologi dan SDM yang handal.
Dimensi Sumberdaya
Sebagian besar koperasi dalam perencanaannya belum mengalokasikan sumberdayanya secara baik. Perencanaan program masih disusun secara garis besar yang biasanya dibagi menurut bidang seperti bidang organisasi dan manajemen, bidang usaha, bidang permodalan, dan bidang kesejahteraan anggota dan pengelola. Alokasi sumberdaya umumnya hanya tergambarkan dalam RAPBK, tidak menjelaskan jadwal, SDM yang terlibat, sumber dan penggunaan dana secara rinci.
Dimensi Implementasi
Dari sembilan koperasi yang diobservasi, hanya KPSBU Lembang saja yang memiliki dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating Procedur (SOP) dan petunjuk teknis (Juknis) tertulis. Menurut keterangan pengurus dan manajer, KUD ketika menangani usaha program dari pemerintah seperti penyaluran KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk, pernah memiliki Juklak dan Juknis, meski disusunkan oleh pihak pemerintah.
Dimensi Jenis dan Proses Perencanaan
Fakta empiris ditemukan pada 2 KPSBU, yang sudah menerapkan proses perumusan rencana strategis jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi ini memperkuat pendapat Ropke (1985) bahwa pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan sangat dipengaruhi oleh kualitas partisipasi anggota. Adapun kualitas partisipasi anggota ditentukan oleh interaksi tiga variabel, yaitu kemampuan anggota dalam menyampaikan aspirasi dan keinginannya, kemampuan manajemen koperasi untuk menangkap keinginan anggota dan kemampuan koperasi dalam merumuskan program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan anggota.
Sebagian besar koperasi sampel belum memiliki rencana strategis jangka panjang yang berisikan visi, sebagai arahan misi, tujuan dan strategi koperasi serta memudahkan pengembangan rencana program pada setiap bidang fungsional atau unit usaha koperasi.
Dari sembilan koperasi sampel yang diamati, hanya satu koperasi yang telah memiliki rencana strategis. Delapan koperasi lainnya hanya memiliki rencana program tahunan (jangka pendek). Menurut teori manajemen modern, koperasi yang masih berorientasi jangka pendek mungkin cocok pada situasi lingkungan bisnis yang stabil, tetapi akan segera tergusur pada situasi lingkungan bisnis yang berubah cepat.
Adanya pemahaman konseptual manajemen yang baik dari para pengurus dan manajer, belum menjadi dimensi kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi dan proses perencanaan yang efektif. Padahal penelitian Sugianto (2006) mengenai Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat menyimpulkan sebagai berikut:

1.      Kompetensi manajerial manajemen koperasi (Pengurus, Pengawas dan Manajer Koperasi) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan  koperasi dan promosi anggota.
2.      Komitmen manajemen koperasi (Pengurus, Pengawas dan Manajer Koperasi) secara simultan berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan Koperasi dan Promosi Ekonomi Anggota. Dimensi komitmen diwujudkan dalam indikator keinginan menjaga nama baik lembaga, kesepakatan mencapai tujuan dan nilai organisasi, mengutamakan kepentingan lembaga, serta sikap dan perilaku menjalankan strategi lembaga.
Temuan penelitian Sugianto setidaknya mengungkap bahwa pemahaman konseptual manajerial baik pengurus maupun manajer koperasi tidak secara otomatis diikuti oleh komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerja manajerialnya di koperasi. Dengan kata lain pihak manajemen koperasi memiliki pemahaman dan kemampuan manajerial tetapi belum tergerak mengimplementasikannya untuk mencapai kemajuan koperasi. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti insentif, motivasi berprestasiatau adanya konflik kepentingan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent).
Penelitian Untung Wahyudi (2007) yang mengacu pada agency theory (anggota koperasi adalah principal dan pengurus adalah agent), tugas pengurus adalah memaksimalkan atau meningkatkan kekayaan anggota. Hal ini diduga sulit diwujudkan di koperasi karena berdasarkan pengamatannya, kebanyakan pengurus koperasi bukan berasal dari kalangan profesional dalam bisnis koperasi. Konsekwensinya, konflik kepentingan seringkali muncul kepermukaan. Dalam beberapa kasus baik pengurus maupun manajer yang diangkat oleh koperasi memiliki usaha/bisnis yang bersaing dengan bisnis koperasi. Beberapa literatur koperasi menyebut kelompok ini sebagai kelompok vested interest yang memanfaatkan fasilitas dan jaringan bisnis koperasi untuk kepentingan bisnis pribadi. Hasilnya bisnis kelompok vested interest makin berkembang sedangkan bisnis koperasi jalan di tempat. Kondisi ini banyak ditemui pada saat dukungan kebijakan pemerintah melalui usaha program cukup dominan.
4.1.1. Keragaan Fungsi dan Proses Pengorganisasian
Dimensi Struktur
Secara umum koperasi sudah memiliki deskripsi tugas secara tertulis, meskipun dalam versi dan kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud dan tujuan pekerjaan yang ditetapkan, seluruh koperasi sampel menetapkan pembagian kerja kedalam unit atau divisi/departemen secara formal melalui keputusan rapat anggota, meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan oleh pengurus. Formalisasi tugas ini oleh pengurus dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas.
Kompleksitas struktur ini memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang lebih komplek seperti pada KUD dan koperasi peternakan. Jenjang struktur vertikal bervariasi antara tiga sampai dengan lima jenjang. Jenjang struktur tiga tingkat yaitu Rapat Anggota, Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur lima tingkat dimulai dari Rapat Anggota, Pengurus, Manajer, Unit dan Sub unit, ditemukan di tiga koperasi contoh. Diferensiasi horizontal, yaitu kelebaran struktur pada level yang sama juga bervariasi sesuai dengan banyaknya fungsi usaha yang ditangani. Kedalaman dan kelebaran dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali manajemen.
Disain Struktur (Departementasi)
Desain organisasi koperasi pada umumnya menggunakan model fungsional sesuai komoditas usaha yang ditangani. Koperasi dengan disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan dengan anggota yang dilayani dan jumlah unit usaha yang ditangani) relatif fleksibel dalam mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya, mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki struktur organisasi gemuk, kurang fleksibel dan diorganisasikan dengan pola lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat dan cenderung tidak berkembang.
Temuan penting lainnya dari kajian ini adalah mengenai inkonsistensi dan ketidaksesuaian antara tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi dengan disain tugas. Disain tugas koperasi pada umumnya tidak membedakan antara fungsi pelayanan dan bisnis. Hanya pada satu koperasi sampel yang sudah memisahkan antara unit pelayanan yang berorientasi pada kesejahteraan anggota dengan unit bisnis sebagai profit centre. Disain tugas koperasi yang digambarkan dalam diagram struktur organisasi, pada umumnya tidak memiliki divisi atau departemen Research and Development (R&D) dan Human Resources Development (HRD). Padahal, kedua departemen ini memiliki posisi vital dalam pengembangan kompetensi sumberdaya manusia koperasi dan proses inovasi koperasi. Di perusahaanperusahaan modern pesaing koperasi biasanya memiliki kedua departemen tersebut agar mampu bertahan dalam kompetisi. Tidak tertutup kemungkinan disain organisasi seperti ini yang menyebabkan koperasi kalah bersaing dengan perusahaan kapitalistik. Meski perlu dicatat bahwa perbedaan orientasi pada kedua organisasi perusahaan kemungkinan menjadi penyebab lainnya.
Dimensi Pembagian Wewenang
Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian, yang selanjutnya oleh masing-masing koperasi dijabarkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi. Rapat Anggota memegang kekuasaan tertinggi dan memiliki kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya, pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut di lapangan hampir tidak ditemukan masalah, artinya masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam hal pendelegasian wewenang dari pengurus kepada manajer, dari manajer kepada kepala unit ditemukan fakta yang bervariasi tiga koperasi contoh sudah mendistribusikan wewenang kepada level dibawahnya secara proporsional. Sistim pengambilan keputusan manajemen sudah sepenuhnya melibatkan staf. Meskipun masih ada stereotipe bahwa pengurus hanya memberikan wewenang kepada manajer untuk menangani bisnis koperasi yang kurang menguntungkan (jabatan kering), sedangkan bisnis yang profitable (jabatan basah) tetap dipegang oleh pengurus.
Di lapangan juga ditemukan ada kecenderungan, koperasi yang dipegang oleh pengurus berusia lanjut dan memegang kepengurusan relative lama (beberapa periode) cenderung kurang memberikan wewenang yang proporsional kepada level di bawahnya dengan sistim pengambilan keputusan komando, model organisasi garis (ditemukan pada KUD Karya Teguh, dan KUD Trisula).
Dimensi Koordinasi Menggerakkan Organisasi
Paradigma baru peran dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser dari cara-cara lama yang cenderung otoriter, satu arah dimana seorang pemimpin atau manajer perusahaan berprinsip doing things right bergeser kearah pemimpin yang lebih demokratis dengan prinsip doing the right thing.
Standarisasi suatu proses kegiatan yang dijabarkan dalam bentuk SOP, Juknis, Juklak hanya ditemukan padadua koperasi sampel. Pada kedua koperasi tersebut dirasakan adanya suasana kerja yang dinamis dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.
Tingkat kehadiran pihak manajemen dan disiplin waktu kehadiran mempengaruhi disiplin dan motivasi kerja karyawan. Pengurus dan manajer yang disiplin dalam waktu dan kehadiran telah membentuk budaya kerja disiplin yang positif di koperasi. Kondisi ini diamati sangat nyata pada dua di Jawa Barat dan Sumut.
Observasi langsung mengenai seberapa sering pihak manajemen melaksanakan rapat kordinasi dan pengarahan dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja karyawan tidak mudah dilakukan. Meskipun dalam dokumen tertulis Laporan Tahunan dilaporkan baik oleh Pengurus maupun Pengawas menyebutkan frekuensi rapat dengan periodisasi bervariasi. Koperasi yang memiliki unit usaha yang banyak dengan kompleksitas tinggi melaporkan frekuensi rapat kordinasi dan  pengarahan yang tinggi. Pada KSP, karenasetiap minggu harus memutuskan penyaluran pinjaman juga melaksanakan rapat dengan frekuensi tinggi.
Seringnya pihak manajemen menyelenggarakan rapat koordinasi dan pengarahan setidaknya menggambarkan proses kepemimpinan sudah berlangsung dengan baik. Pengamatan mengenai efektifitas fungsi kepemimpinan di koperasi ditinjau dari munculnya komitmen, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan, masih mengalami kesulitan karena faktor keterbatasan waktu pengamatan.
Khusus mengenai proses menggerakkan (actuating) di organisasi koperasi saat ini masih sulit ditemukan baik dalam bentuk buku teks, maupun hasil penelitian. Sementara itu, literatur manajemen khususnya di Negara-negara maju banyak menyajikan action research untuk menguji teori kepemimpinan terutama dari aspek motivasi, kepuasan kerja dan produktivitas karyawan.
Dimensi Kerjasama
Aspek lain yang diobservasi dalam variabel pengorganisasian adalah kerjasama koperasi dengan pihak lain. Semua koperasi sampel yang diamati belum memanfaatkan kerjasama antar koperasi baik dalam bentuk aliansi strategis, integrasi vertikal maupun intergrasi horisontal (dalam rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar). Kondisi ini masih tidak berubah dan cenderung semakin buruk. Kondisi seperti itu sejalan dengan hasil kesimpulan penelitian Litbang Depkop bekerja sama dengan LPPM-Ikopin pada tahun 1993. Padahal pada masa itu dukungan pemerintah terhadap KUD/koperasi masih sangat kuat dengan fasilitas kredit program dan hak monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu, gula, susu, dan gabah/beras.
Praktek interlinkage market, dalam skala terbatas ditemukan pada satu koperasi contoh yang mempraktekkan pengembangan usaha (mirip model holding company) dengan koperasi lainnya. Keterkaitan bisnis dan pasar dari ketiga badan hukum tersebut sangat kuat dan saling mendukung satu sama lainnya. Pembelian oleh anggota dari Koperasi Pertanian dibiayai oleh KSP dengan pola jual tunda dengan jaminan komoditas yang ada di gudang KSP (pola ini diadopsi menjadi kredit dengan jaminan Resi Gudang) sehingga anggota memperoleh harga pembelian yang baik. KSP tidak mengalami kesulitan modal kerja dan KSP Trisula dapat menyalurkan kredit/pinjaman dengan aman. Kasus ini sebenarnya menguatkan pendapat bahwa organisasi yang mampu melakukan aliansi strategis (interlinkage market) dapat saling menguntungkan dan mengurangi risiko ketidakpastian.
4.1.2. Keragaan Proses Pengendalian
Observasi tentang proses pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa indikator seperti penetapan standar dan metoda, pengukuran prestasi, analisis, serta tindakan korektif. Sumber informasi diperoleh dari pengamatan langsung, penuturan responden, dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan pada RAT.
Hasil observasi menemukan bahwa proses pengendalian manajemen di koperasi pada umumnya masuk dalam kategori kurang sampai sedang. Kondisi ini sangat erat dengan proses perencanaan yang lemah, perumusan tujuan dan alokasi sumberdaya yang tidak jelas dan berdampak pada penetapan standar untuk pengendalian menjadi bias. Sebagian besar koperasi juga belum menyusun anggaran kas yang berfungsi untuk pengelolaan dan pengendalian anggaran koperasi. Pengendalian yang umum dilakukan oleh koperasi sampel masih terbatas pada pengukuran efektivitas penggunaan anggaran (membandingkan rencana anggaran dengan realisasi).
Analisis laporan keuangan dengan menggunakan model rasio leverage, rasio aktivitas dan rasio profitabilitas. Sementara perusahaanperusahaan modern kapitalistik telah beralih kepada konsep Total Quality Management (TQM) atau Total Quality Controll (TQC) hingga standarisasi proses dengan sistim ISO. Inovasi metoda dan proses pengendalian baik dengan TQM,TQC atau ISO ini pada hakekatnya termasuk kedalam model pengendalian dinamis dan menyeluruh yang melibatkan seluruh jajaran manajemen untuk menjamin konsistensi kualitas barang dan jasa yang dihasilkan.
Sistem Penggajian
Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel memberi gambaran bahwa sistem renumerasi di koperasi keragaannya sangat bervariasi. Semakin baik proses penerapan manajemen di koperasi maka semakin
baik pula penerapan sistim renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar
pemberian kompensasi dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim renumerasi yang jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi yang diterima oleh karyawan koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, beban kerja dan pengalaman yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang diberikan oleh perusahaan swasta relatif masih lebih rendah.
Oman Hadipermana (2007) dari hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung mengemukakan bahwa terjadinya ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan karena kompensasi yang diterima belum sesuai dengan beban kerjanya. Adanya perasaan tidak puas dan tidak adil dari para karyawan akan menyebabkan hal-hal
yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin (1993) disebabkan karena adanya gap antara harapan karyawan dengan kenyataan yang diperolehnya dari organisasi tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja dari hasil penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1.      Terdapat hubungan yang positif antara kompensasi dengan motivasi kerja karyawan. Artinya meningkatnya aspek kompensasi akan disertai dengan peningkatan aspek motivasi kerja karyawan. Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi kerja bagi karyawan dipersepsikan pada kategori rendah sampai cukup saja.
2.      Motivasi kerja karyawan berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.Secara parsial motivasi kerja berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh kompensasi kerja secara langsung terhadap prestasi kerja. Artinya walaupun kompensasi yang diterima karyawan KUD masih rendah, tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3.      Kompensasi kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama (simultan) berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.
Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi kasus yang dilakukan di Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpulan penting yang diperoleh:
1.      Secara kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah skor sebesar 58,33 persen yang masuk dalam criteria prestasi kerja cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria kurang.
2.      Secara kualitatif prestasi kerja karyawan unit simpan pinjam juga masuk dalam kriteria cukup saja.
Kesimpulan hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas kerja karyawan koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan menurunkan tingkat produktivitas koperasi.
Sementara itu, belum ditemukan penelitian lain yang difokuskan kepada hubungan antara kompensasi, motivasi dengan produktivitas kerja pengurus dan menejer koperasi. Kompensasi bagi pengurus koperasi selain dalam bentuk honorarium atau insentif bulanan juga dari bagian SHU dengan prosentasi tertentu. Manajer selain memperoleh gaji bulanan juga ditambah dengan bonus atau bagian dari SHU. Dari pengamatan lapangan ada indikasi sistim balas jasa bagi pengurus dan manajer kurang transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih
besar dibandingkan dengan rata-rata kompensasi yang diterima karyawan.
Sistem Karier
Pada umumnya sistim karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan dibandingkan dengan perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang diutarakan oleh para pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistim karier di koperasi adalah karena keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variable kompensasi/renumerasi. Dari aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan lembaga yang menjadi pilihan yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar
tenaga kerja. Karyawan yang saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan karena tidak terserap oleh perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan koperasi masuk dalam kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh BUMS dan BUMN yang sudah mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua diserap oleh sektor pegawai negeri.
Survey yang dilakukan IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas Bina Nusantara, Jakarta terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir
untuk menjadi Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari 10 persen responden yang berminat menjadi wirausaha, meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja. Selebihnya 90 persen responden menyatakan tidak berminat dan memilih untuk menjadi pegawai. Pilihan menjadi pegawai BUMN dan BUMS yang mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal kurikulum IKOPIN memuat misi mencetak sarjana ekonomi untuk membangun perekonomian dengan koperasi sebagai bentuk kelembagaan ideal bagi ekonomi kerakyatan.
Temuan lain mengindikasikan bahwa kewenangan sentralistik pengurus
dalam proses rekruitmen dan penempatan pegawai berdampak kepada tidak
transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan peluang kerja termasuk pengembangan karier terindikasi kuat ditentukan oleh adanya hubungan kekerabatan dengan pengurus. Alasan kemampuan financial koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula, sangat jarang ditemukan adanya koperasi yang secara pro aktif memasang iklan di mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.
Efisiensi Usaha Koperasi
Gambaran mengenai tingkat rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel menunjukkan besaran yang bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinyakoperasi masih menderita kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE untuk koperasi di Indonesia belum ada maka digunakan standar industri sebagai pembanding. Biasanya standar industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito sebagai opportunity cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang berlaku delapan persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi tidak efisien (terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data lapang menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE yang rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh (2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di Majalengka, menemukan kondisi yang lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2003, rata-rata RE koperasi tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 -  0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa krisis.
Sebelum krisis, Lilis Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992 sampai tahun 1996 berkisar antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa ditemukan dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh Kualitas Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas Koperasi. Dari hasil penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang KSP rata-rata di bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata koperasi sampel memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.
Kondisi empirik mengenai efisiensi biaya transaksi KSP rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh Sugiyanto (2006) yang meneliti manfaat promosi ekonomi anggota pada KSP dan
koperasi kredit (Kopdit) dalam bentuk efisiensi biaya pinjaman seperti biaya administrasi, provisi dan asuransi. Efisiensi dihitung dari selisih antara biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing koperasi.
Data juga menunjukkan gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive advantage yang ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan pengawasan terhadap KSP dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif dibandingkan dengan kegiatan bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun begitu, masih banyak ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah kelemahan dari peraturan yang ada.
Masalah efisiensi koperasi di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia) telah menjadi bahan diskusi panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel
(1985 ) mengkritisi kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan oleh :
1.      Dampak koperasi terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari organisasi koperasi, khususnya karena koperasi tidak banyak memberikan sumbangan dalam mengatasi kemiskinan dan dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang miskin.
2.      Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh organisasi koperasi seringkali dinilai tidak efisien dan tidak mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan sebaliknya hanya memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3.      Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terjadi penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4.      Tingkat ofisialisasi yang yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi (khususnya koperasi pertanian), ditandai dengan dukungan/bantuan dan pengawasan yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan sama seperti pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, ketimbang sebagai suatu organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan berorientasi pada anggota.
5.      Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan khususnya kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah untuk menunjang organisasi koperasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi
tentang upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai
berikut:
1.      Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus memberikan manfaat dan menghasilkan potensi peningkatan pelayanan yang cukup bagi anggotanya.
2.      Organisasi koperasi harus efisien dan efektif bagi anggotanya, artinya setiap anggota akan menilai manfaat partisipasi dalam usaha bersama lebih efektif untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3.      Dalam jangka panjang, anggota koperasi harus dapat menerima saldo positif antara pemanfaatan (insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang diberikan kepada koperasi.
4.      Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang dihasilkan oleh usaha bersama/koperasi menjadi milik umum. Artinya koperasi harus mampu mencegah timbulnya dampak dari penumpang gelap (free riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.
Yuyun Wirasasmita (1991) berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era
80-an dan 90-an, masih belum banyak mengalami perubahan karena masih dalam
kondisi :
1.      Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
2.      Struktur organisasi dan proses pengambilan keputusan sukar dimengerti dan dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3.      Tujuan koperasi dari sudut pandang anggota sering dianggap terlalu luas atau terlalu sempit.
4.      Karyawan koperasi dan para manajer dalam menjalankan organisasi sangat tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5.      Fasilitas koperasi terbuka juga bagi non anggota sehingga tidak ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota.
Positioning Koperasi
Menghadapi globalisasi dengan segala indikatornya, koperasi perlu melakukan repositioning baik dalam hal perilaku dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius Roni Setiawan, 2002 dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran sumberdaya manusia dilakukan dengan mengubah pemahaman organisasi tentang
peran sumberdaya manusia yang semula dengan konsep people issues menjadi people related business issues yang didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.
Peran sumberdaya manusia akan semakin dihargai terutama terkait dengan kompetensinya dalam pengelolaan bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D.,
1997 (dalam Sugiyanto, 2008), menawarkan empat hal pokok yang berkenaan dengan peran sumberdaya manusia, yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli administrasi (administrative expert), menjadi pelopor/pejuang (employee champion), dan menjadi agen perubahan (agent of change).
Hasil analisis Sugiyanto (2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan
koperasi di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian asset yang diinvestasikan kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on Asset (ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang handal untuk mengelola bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua koperasi memiliki manajer, hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu memiliki manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp 435,614,-.
Rendahnya rata-rata kinerja koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha (RE) secara empiris berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang lemah termasuk sistim renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang
diobservasi hanya dua koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip
dan proses manajemen dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga
hal ini karena koperasi tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki komitmen yang tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi. Kedua faktor penyebab secara simultan memiliki pengaruh dominan terhadap positioning koperasi yang buruk.
Positioning koperasi di era globalisasi perdagangan bebas hanya dapat dipertahankan bila koperasi mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat ekonomi bagi anggotanya melalui penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat disediakan koperasi bagi anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang K. (1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan model matrik positioning koperasi dari hubungan antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen dalam menentukan keberhasilan koperasi untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
Tabel 3. Model Matrik Positioning
Profesionalisme manajemen/ Partisipasi anggota
Profesionalisme
tinggi
Profesionalisme
rendah
Partisipasi anggota Tinggi
Koperasi berkembang baik
Koperasi berkembang lambat
Partisipasi Anggota Rendah
Koperasi mati pelan-pelan
Koperasi mati dengan segera
Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)

Apabila matriks ini digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi
sampel yang diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1.     Koperasi berkembang baik: 3 koperasi atau 33,33 persen (KPSBU Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2.     Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3.     Koperasi mati pelan-pelan : 3 koperasi atau 33,33 persen (GKSI Jawa Barat, Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4.     Koperasi mati dengan segera : 1 koperasi atau 11,1 persen (KUD Setia Tani,Sumatera Utara).
Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1) identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2) identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning; dan,
(6) merancang strategi pemasaran yang tepat (product, place, promotion dan price) atau strategi bisnis.
Sejauh ini belum terdapat fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang
telah melakukan positioning ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan
sumberdaya, kelembagaan maupun usahanya. Dengan demikian belum terdapat contoh best practice yang dapat dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi lainnya. Koperasi di Indonesia, nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan masalah internalnya.
V.  Kesimpulan Dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian empiris ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi dilihat dari perspektif ilmu manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
1).  Dari sudut pandang disiplin ilmu manajemen bisnis, perubahan lingkungan bisnis global mendorong organisasi koperasi untuk menerapkan disiplin ilmu manajemen modern yang mendorong reformulasi tujuan dan strategi, restrukturisasi, dan realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif tersebut praktek manajemen di koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak relevan dengan tuntutan jaman.
2). Perkembangan koperasi di Indonesia yang cenderung lamban atau bahkan stagnant ditengarai oleh kelemahan fundamental dalam penerapan fungsifungsi manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses perencanaan berlangsung tanpa mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan benar. Orientasi perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi perencanaan jangka panjang untuk mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Kondisi ini menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak yang tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.
3).  Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat diprediksi bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai lembaga ekonomi. Hanya beberapa jenis koperasi seperti KSP (single purpose), Kopdit, dan koperasi peternakan (single commodity multi purpose) yang mampu bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Dari sudut kebijakan makro, berkembangnya bisnis simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari ketatnya regulasi dan pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan standarisasi sistim pengelolaan.

4.2. Rekomendasi
1).  Pihak manajemen di koperasi dalam hal ini pengurus dan manajer harus segera meninggalkan cara-cara lama (konvensional) dalam pengelolaan koperasi dengan mengadopsi dan mengadaptasi manajemen bisnis modern. Melakukan reformulasi tujuan koperasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan anggota yang dinamis dan tuntutan persaingan.
2). Pihak manajemen di koperasi perlu memperbaiki kinerja koperasi dengan mengembalikan peran dan funsi koperasi yaitu kepada yang seharusnya yaitu koperasi yang berlandaskan dasar-dasar self help (menolong diri sendiri), self relience (percaya diri), self responsibility (bertanggung jawab atas dirinya), sehingga dengan demikian kaidah-kaidah koperasi yaitu efisiensi secara keseluruhan dan khususnya dalam pelayanan anggota dapat diciptakan.

3). Kebutuhan akan implementasi manajemen modern di koperasi harus tumbuh dari lingkungan intrnal koperasi, meskipun pada tahap awal pemerintah dapat bertindak sebagai agen perubahan untuk memprakarsai proses perubahan sikap dan prilaku pihak manajemen koperasi melakukan bencmarking manajemen modern dari berbagai sumber.




Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar