Oleh
:
Burhanuddin
Berisi :
Metode Analisis
III.
Metoda Kajian
Metoda yang diterapkan
pada kajian ini adalah explorative study yang teknik
studinya menggunakan
kombinasi antara:
·
Studi Kepustakaan (Library research),
difokuskan kepada literatur perkoperasian, ekonomi koperasi, manajemen umum,
manajemen koperasi, serta hasil kajian yang relevan dengan kegiatan ini baik
yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk publikasi melalui
internet.
·
Observasi lapangan (Field research),
dengan pendekatan expert explorative survey atau expert judgement untuk
menghimpun pendapat ahli yang berhubungan dengan tujuan kajian. Kegiatan ini
dikaitkan dengan pengumpulan data primer di koperasi sampel dan pelaksanaan
seminar di perguruan tinggi tertentu untuk menelaah kajian perkoperasian yang
pernah dilakukan.
3.1 Jenis dan Sumber
Data
Data sekunder dihimpun
dari :
1.
Hasil-hasil kajian perkoperasian (dalam berbagai bentuk seperti disertasi,
tesis, skripsi, dll.) dari perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen
(dari aspek fungsi dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur
organisasi, pembagian tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis
koperasi). Buku-buku teks ilmu manajemen
perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan di dalam negeri
maupun dari luar negeri.
2.
Laporan tahunan dari beberapa koperasi yang menjadi obyek pengamatan.
Data primer berasal
dari hasil observasi lapangan, wawancara dengan pengurus, manajer, karyawan,
anggota dan pendapat para ahli yang dikumpulkan dalam kegiatan seminar di
perguruan tinggi.
3.2 Teknik Pengumpulan
Data
Teknik atau cara
pengumpulan data dalam kajian ini dilaksanakan dengan cara: 1) Wawancara kepada
Pengurus, Manajer, Karyawan, dan Anggota; 2)
Pengamatan langsung
pada aktivitas manajemen koperasi; 3) Studi pustaka; 4) Pengumpulan pendapat
ahli/pakar di perguruan tinggi melalui forum seminar,konsultasi dan diskusi
terbatas.
3.3 Variabel
Operasional
Variabel yang digunakan
dalam kajian ini meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen,
sistim renumerasi, sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi.
Setiap variabel kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.
3.4 Teknik Penetapan
Sampel
Wilayah kajian
ditetapkan secara sengaja di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara,
Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung.
Penetapan propinsi sampel dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan
kompleksitas koperasi baik dilihat dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha,
jangkauan pelayanan, skala bisnis, heterogenitas keanggotaan, maka obyek
observasi difokuskan pada Propinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Selanjutnya,
di wilayah kajian lainnya, dilakukan penelaahan hasil kajian perguruan tinggi.
Sampel koperasi dikelompokkan kedalam koperasi single purpose (diwakili
oleh KSP dan Koperasi Peternakan) dan koperasi multi purpose (diwakili
oleh KUD).
Tabel 1. Sebaran Sampel
Koperasi Pada Dua Propinsi Wilayah Kajian
Propinsi
|
KUD
|
Kopnak
|
KSP
|
PUSKUD
|
GKSI
|
Jawa
Barat
|
2
|
1
|
1
|
-
|
1
|
Sumatera
Utara
|
2
|
-
|
1
|
1
|
-
|
(dalam unit
Tabel 2. Responden
Responden
|
Jumlah
(Orang)
|
1.
Pengurus
|
18
|
2. Manajer
|
9
|
3. Karyawan
|
9
|
4. Anggota
|
9
|
3.5 Metoda Analisis
Data
Metoda yang digunakan
adalah teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini
diarahkan untuk menarik kesimpulan dan merekomendasikan berbagai hal berkaitan
dengan tujuan Kajian Prospek Koperasi Dari Perspektif Disiplin Ilmu Manajemen
Bisnis.
IV.
Hasil Kajian
Pemahaman Konsepsi
Manajemen
Hasil observasi
menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar
belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas manajerialnya di
koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat
diduga kuat adanya korelasi positif dengan performance (kinerja),
suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan
pada koperasi yang diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan
organisasi yang baik).
Studi khusus mengenai
pemahaman konseptual manajemen pengurus dan manajer koperasi sejauh ini masih
belum ditemukan. Namun, masih cukup relevan pernyataan filsuf Jerman, Emmanuel
Kant (dalam Ropke, 1985) bahwa tidak ada praktek yang berhasil baik tanpa
memahami konsepsi teori yang baik pula.
Penelitian Sugiyanto
(2006) tentang Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Pengurus dan Manajer Terhadap
Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi pada
Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat, menyimpulkan bahwa
secara simultan kompetensi dan komitmen pengurus dan manajer memberikan
pengaruh positif baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja keuangan,
promosi ekonomi anggota, dan struktur keuangan koperasi.
Fungsi dan Proses
Manajemen
4.2.1. Keragaan Fungsi
dan Proses Perencanaan
Dimensi Penetapan
Tujuan
Dari sembilan koperasi
sampel yang diobservasi, hanya satu koperasi (KPSBU Lembang) atau 11,1 persen
yang memiliki visi jangka panjang secara tertulis, sementara delapan koperasi
lainnya belum memiliki. Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya
adalah ”Menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan
anggota”. Pada tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu
rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092
orang anggota dengan produksi susu per hari 103.384 kg. Data ini
mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran
susu.
Dalam perumusan tujuan
(target) jangka pendek, pada umumnya koperasi sampel merumuskannya dalam
kalimat kualitatif dengan target yang tidak terukur. Berikut ini adalah contoh
tujuan koperasi yang dikumpulkan dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Koperasi (RAPBK) yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT).
Contoh tujuan tersebut
masih sangat bersifat normatif dan tidak terukur. Tujuan ini tidak memberikan
arahan sebagai pedoman tindakan, alokasi sumberdaya baik sarana fisik, manusia
maupun dana. Beberapa literatur yang ditulis oleh Dulfer (1984), Hanel (1984),
dan Gupta (1985) menyatakan bahwa perumusan tujuan koperasi seringkali tidak
mudah seperti perusahaan kapitalistik dengan shareholders, karena
melibatkan berbagai pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Ketidakseimbangan
dalam mengakomodasi secara proporsional seringkali menjadi sumber konflik yang membuat
organisasi koperasi dalam perjalanannya tidak stabil.
Dulfer (1984) dan Gupta
(1985) menyatakan bahwa model koperasi tradisional dan koperasi terpadu yang
dalam proses perumusan tujuannya selalu berorientasi pada anggota akan lebih
mampu bertahan dan berkembang dibandingkan dengan koperasi tipe pedagang yang
dalam proses perencanaannya cenderung didominansi oleh kelompok vested
interest (Petani kaya, Pengurus dan atau pihak pemodal kuat).
Dimensi
Tindakan
Pada
koperasi sampel, ditemukan pada umumnya tujuan ditetapkan secara kualitatif.
Konsekwensinya, tindakan dan proses untuk mencapai tujuan juga menjadi tidak
jelas. Penggunaan asumsi untuk peramalan target yang digunakan masih sangat
sederhana dengan mengambil patokan angka-angka capaian tahun sebelumnya.
Sedangkan di perusahaan modern non koperasi sudah digunakan model peramalan
matematika dan statistika dengan memasukkan berbagai variabel penentu
keberhasilan seperti waktu, musim, dan risiko yang dihitung berdasarkan teori
kemungkinan (probabilitas). Hal ini dapat dilakukan karena adanya dukungan
teknologi dan SDM yang handal.
Dimensi
Sumberdaya
Sebagian
besar koperasi dalam perencanaannya belum mengalokasikan sumberdayanya secara
baik. Perencanaan program masih disusun secara garis besar yang biasanya dibagi
menurut bidang seperti bidang organisasi dan manajemen, bidang usaha, bidang
permodalan, dan bidang kesejahteraan anggota dan pengelola. Alokasi sumberdaya
umumnya hanya tergambarkan dalam RAPBK, tidak menjelaskan jadwal, SDM yang terlibat,
sumber dan penggunaan dana secara rinci.
Dimensi
Implementasi
Dari
sembilan koperasi yang diobservasi, hanya KPSBU Lembang saja yang memiliki
dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating
Procedur (SOP) dan petunjuk teknis (Juknis) tertulis. Menurut keterangan
pengurus dan manajer, KUD ketika menangani usaha program dari pemerintah
seperti penyaluran KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk, pernah memiliki
Juklak dan Juknis, meski disusunkan oleh pihak pemerintah.
Dimensi
Jenis dan Proses Perencanaan
Fakta
empiris ditemukan pada 2 KPSBU, yang sudah menerapkan proses perumusan rencana
strategis jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi ini memperkuat
pendapat Ropke (1985) bahwa pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam
bidang usaha akan sangat dipengaruhi oleh kualitas partisipasi anggota. Adapun
kualitas partisipasi anggota ditentukan oleh interaksi tiga variabel, yaitu
kemampuan anggota dalam menyampaikan aspirasi dan keinginannya, kemampuan
manajemen koperasi untuk menangkap keinginan anggota dan kemampuan koperasi
dalam merumuskan program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan
anggota.
Sebagian
besar koperasi sampel belum memiliki rencana strategis jangka panjang yang
berisikan visi, sebagai arahan misi, tujuan dan strategi koperasi serta
memudahkan pengembangan rencana program pada setiap bidang fungsional atau unit
usaha koperasi.
Dari
sembilan koperasi sampel yang diamati, hanya satu koperasi yang telah memiliki
rencana strategis. Delapan koperasi lainnya hanya memiliki rencana program
tahunan (jangka pendek). Menurut teori manajemen modern, koperasi yang masih
berorientasi jangka pendek mungkin cocok pada situasi lingkungan bisnis yang
stabil, tetapi akan segera tergusur pada situasi lingkungan bisnis yang berubah
cepat.
Adanya
pemahaman konseptual manajemen yang baik dari para pengurus dan manajer, belum
menjadi dimensi kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi dan proses
perencanaan yang efektif. Padahal penelitian Sugianto (2006) mengenai Pengaruh
Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi
Anggota dan Struktur Modal Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa
Barat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Kompetensi
manajerial manajemen koperasi (Pengurus, Pengawas dan Manajer Koperasi)
berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
koperasi dan promosi anggota.
2. Komitmen
manajemen koperasi (Pengurus, Pengawas dan Manajer Koperasi) secara simultan
berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan Koperasi dan Promosi Ekonomi
Anggota. Dimensi komitmen diwujudkan dalam indikator keinginan menjaga nama
baik lembaga, kesepakatan mencapai tujuan dan nilai organisasi, mengutamakan
kepentingan lembaga, serta sikap dan perilaku menjalankan strategi lembaga.
Temuan
penelitian Sugianto setidaknya mengungkap bahwa pemahaman konseptual manajerial
baik pengurus maupun manajer koperasi tidak secara otomatis diikuti oleh
komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerja manajerialnya di koperasi.
Dengan kata lain pihak manajemen koperasi memiliki pemahaman dan kemampuan
manajerial tetapi belum tergerak mengimplementasikannya untuk mencapai kemajuan
koperasi. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti insentif, motivasi
berprestasiatau adanya konflik kepentingan antara pemilik (principal)
dengan manajemen (agent).
Penelitian
Untung Wahyudi (2007) yang mengacu pada agency theory (anggota koperasi
adalah principal dan pengurus adalah agent), tugas pengurus
adalah memaksimalkan atau meningkatkan kekayaan anggota. Hal ini diduga sulit
diwujudkan di koperasi karena berdasarkan pengamatannya, kebanyakan pengurus
koperasi bukan berasal dari kalangan profesional dalam bisnis koperasi.
Konsekwensinya, konflik kepentingan seringkali muncul kepermukaan. Dalam
beberapa kasus baik pengurus maupun manajer yang diangkat oleh koperasi
memiliki usaha/bisnis yang bersaing dengan bisnis koperasi. Beberapa literatur
koperasi menyebut kelompok ini sebagai kelompok vested interest yang
memanfaatkan fasilitas dan jaringan bisnis koperasi untuk kepentingan bisnis
pribadi. Hasilnya bisnis kelompok vested interest makin
berkembang sedangkan bisnis koperasi jalan di tempat. Kondisi ini banyak
ditemui pada saat dukungan kebijakan pemerintah melalui usaha program cukup
dominan.
4.1.1. Keragaan Fungsi
dan Proses Pengorganisasian
Dimensi Struktur
Secara umum koperasi
sudah memiliki deskripsi tugas secara tertulis, meskipun dalam versi dan
kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud dan tujuan pekerjaan
yang ditetapkan, seluruh koperasi sampel menetapkan pembagian kerja kedalam
unit atau divisi/departemen secara formal melalui keputusan rapat anggota,
meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan oleh pengurus. Formalisasi tugas
ini oleh pengurus dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas.
Kompleksitas struktur
ini memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan
yang lebih komplek seperti pada KUD dan koperasi peternakan. Jenjang struktur
vertikal bervariasi antara tiga sampai dengan lima jenjang. Jenjang struktur
tiga tingkat yaitu Rapat Anggota, Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia
Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur lima tingkat dimulai dari Rapat Anggota,
Pengurus, Manajer, Unit dan Sub unit, ditemukan di tiga koperasi contoh.
Diferensiasi horizontal, yaitu kelebaran struktur pada level yang sama juga
bervariasi sesuai dengan banyaknya fungsi usaha yang ditangani. Kedalaman dan
kelebaran dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali
manajemen.
Disain Struktur
(Departementasi)
Desain organisasi
koperasi pada umumnya menggunakan model fungsional sesuai komoditas usaha yang
ditangani. Koperasi dengan disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan
dengan anggota yang dilayani dan jumlah unit usaha yang ditangani) relatif
fleksibel dalam mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya,
mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki
struktur organisasi gemuk, kurang fleksibel dan diorganisasikan dengan pola
lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat dan
cenderung tidak berkembang.
Temuan penting lainnya
dari kajian ini adalah mengenai inkonsistensi dan ketidaksesuaian antara tujuan
meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi dengan disain tugas. Disain tugas
koperasi pada umumnya tidak membedakan antara fungsi pelayanan dan bisnis.
Hanya pada satu koperasi sampel yang sudah memisahkan antara unit pelayanan
yang berorientasi pada kesejahteraan anggota dengan unit bisnis sebagai
profit centre. Disain tugas koperasi yang digambarkan dalam diagram
struktur organisasi, pada umumnya tidak memiliki divisi atau departemen Research
and Development (R&D) dan Human Resources Development (HRD).
Padahal, kedua departemen ini memiliki posisi vital dalam pengembangan
kompetensi sumberdaya manusia koperasi dan proses inovasi koperasi. Di
perusahaanperusahaan modern pesaing koperasi biasanya memiliki kedua departemen
tersebut agar mampu bertahan dalam kompetisi. Tidak tertutup kemungkinan disain
organisasi seperti ini yang menyebabkan koperasi kalah bersaing dengan
perusahaan kapitalistik. Meski perlu dicatat bahwa perbedaan orientasi pada
kedua organisasi perusahaan kemungkinan menjadi penyebab lainnya.
Dimensi Pembagian
Wewenang
Pembagian wewenang,
tugas dan tanggung jawab perangkat organisasi koperasi secara garis besar
diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian, yang
selanjutnya oleh masing-masing koperasi dijabarkan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Koperasi. Rapat Anggota memegang kekuasaan tertinggi dan
memiliki kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi.
Dalam implementasinya, pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut
di lapangan hampir tidak ditemukan masalah, artinya masih sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Dalam hal pendelegasian
wewenang dari pengurus kepada manajer, dari manajer kepada kepala unit
ditemukan fakta yang bervariasi tiga koperasi contoh sudah mendistribusikan
wewenang kepada level dibawahnya secara proporsional. Sistim pengambilan
keputusan manajemen sudah sepenuhnya melibatkan staf. Meskipun masih ada
stereotipe bahwa pengurus hanya memberikan wewenang kepada manajer untuk
menangani bisnis koperasi yang kurang menguntungkan (jabatan kering), sedangkan
bisnis yang profitable (jabatan basah) tetap dipegang oleh pengurus.
Di lapangan juga
ditemukan ada kecenderungan, koperasi yang dipegang oleh pengurus berusia
lanjut dan memegang kepengurusan relative lama (beberapa periode) cenderung
kurang memberikan wewenang yang proporsional kepada level di bawahnya
dengan sistim pengambilan keputusan komando, model organisasi garis (ditemukan
pada KUD Karya Teguh, dan KUD Trisula).
Dimensi Koordinasi
Menggerakkan Organisasi
Paradigma baru peran
dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser dari cara-cara lama yang
cenderung otoriter, satu arah dimana seorang pemimpin atau manajer perusahaan
berprinsip doing things right bergeser kearah pemimpin yang lebih
demokratis dengan prinsip doing the right thing.
Standarisasi suatu
proses kegiatan yang dijabarkan dalam bentuk SOP, Juknis, Juklak hanya
ditemukan padadua koperasi sampel. Pada kedua koperasi tersebut dirasakan
adanya suasana kerja yang dinamis dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.
Tingkat kehadiran pihak
manajemen dan disiplin waktu kehadiran mempengaruhi disiplin dan motivasi kerja
karyawan. Pengurus dan manajer yang disiplin dalam waktu dan kehadiran telah
membentuk budaya kerja disiplin yang positif di koperasi. Kondisi ini diamati
sangat nyata pada dua di Jawa Barat dan Sumut.
Observasi langsung
mengenai seberapa sering pihak manajemen melaksanakan rapat kordinasi dan
pengarahan dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja karyawan tidak mudah
dilakukan. Meskipun dalam dokumen tertulis Laporan Tahunan dilaporkan baik oleh
Pengurus maupun Pengawas menyebutkan frekuensi rapat dengan periodisasi
bervariasi. Koperasi yang memiliki unit usaha yang banyak dengan kompleksitas
tinggi melaporkan frekuensi rapat kordinasi dan pengarahan yang tinggi. Pada KSP, karenasetiap
minggu harus memutuskan penyaluran pinjaman juga melaksanakan rapat dengan
frekuensi tinggi.
Seringnya pihak
manajemen menyelenggarakan rapat koordinasi dan pengarahan setidaknya
menggambarkan proses kepemimpinan sudah berlangsung dengan baik. Pengamatan
mengenai efektifitas fungsi kepemimpinan di koperasi ditinjau dari munculnya
komitmen, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan, masih mengalami
kesulitan karena faktor keterbatasan waktu pengamatan.
Khusus mengenai proses
menggerakkan (actuating) di organisasi koperasi saat ini masih sulit
ditemukan baik dalam bentuk buku teks, maupun hasil penelitian. Sementara itu,
literatur manajemen khususnya di Negara-negara maju banyak menyajikan action
research untuk menguji teori kepemimpinan terutama dari aspek motivasi,
kepuasan kerja dan produktivitas karyawan.
Dimensi Kerjasama
Aspek lain yang
diobservasi dalam variabel pengorganisasian adalah kerjasama koperasi dengan
pihak lain. Semua koperasi sampel yang diamati belum memanfaatkan kerjasama
antar koperasi baik dalam bentuk aliansi strategis, integrasi vertikal maupun
intergrasi horisontal (dalam rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi
risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar).
Kondisi ini masih tidak berubah dan cenderung semakin buruk. Kondisi seperti
itu sejalan dengan hasil kesimpulan penelitian Litbang Depkop bekerja sama
dengan LPPM-Ikopin pada tahun 1993. Padahal pada masa itu dukungan pemerintah
terhadap KUD/koperasi masih sangat kuat dengan fasilitas kredit program dan hak
monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu,
gula, susu, dan gabah/beras.
Praktek interlinkage
market, dalam skala terbatas ditemukan pada satu koperasi contoh yang
mempraktekkan pengembangan usaha (mirip model holding company) dengan
koperasi lainnya. Keterkaitan bisnis dan pasar dari ketiga badan hukum tersebut
sangat kuat dan saling mendukung satu sama lainnya. Pembelian oleh anggota dari
Koperasi Pertanian dibiayai oleh KSP dengan pola jual tunda dengan jaminan
komoditas yang ada di gudang KSP (pola ini diadopsi menjadi kredit dengan
jaminan Resi Gudang) sehingga anggota memperoleh harga pembelian yang baik. KSP
tidak mengalami kesulitan modal kerja dan KSP Trisula dapat menyalurkan
kredit/pinjaman dengan aman. Kasus ini sebenarnya menguatkan pendapat bahwa
organisasi yang mampu melakukan aliansi strategis (interlinkage market)
dapat saling menguntungkan dan mengurangi risiko ketidakpastian.
4.1.2. Keragaan Proses
Pengendalian
Observasi tentang
proses pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa
indikator seperti penetapan standar dan metoda, pengukuran prestasi, analisis,
serta tindakan korektif. Sumber informasi diperoleh dari pengamatan langsung,
penuturan responden, dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan pada
RAT.
Hasil observasi
menemukan bahwa proses pengendalian manajemen di koperasi pada umumnya masuk
dalam kategori kurang sampai sedang. Kondisi ini sangat erat dengan proses
perencanaan yang lemah, perumusan tujuan dan alokasi sumberdaya yang tidak jelas
dan berdampak pada penetapan standar untuk pengendalian menjadi bias. Sebagian
besar koperasi juga belum menyusun anggaran kas yang berfungsi untuk
pengelolaan dan pengendalian anggaran koperasi. Pengendalian yang umum
dilakukan oleh koperasi sampel masih terbatas pada pengukuran efektivitas
penggunaan anggaran (membandingkan rencana anggaran dengan realisasi).
Analisis laporan
keuangan dengan menggunakan model rasio leverage, rasio aktivitas dan rasio
profitabilitas. Sementara perusahaanperusahaan modern kapitalistik telah
beralih kepada konsep Total Quality Management (TQM) atau Total
Quality Controll (TQC) hingga standarisasi proses dengan sistim ISO.
Inovasi metoda dan proses pengendalian baik dengan TQM,TQC atau ISO ini pada
hakekatnya termasuk kedalam model pengendalian dinamis dan menyeluruh yang
melibatkan seluruh jajaran manajemen untuk menjamin konsistensi kualitas barang
dan jasa yang dihasilkan.
Sistem Penggajian
Hasil observasi
mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel memberi gambaran
bahwa sistem renumerasi di koperasi keragaannya sangat bervariasi. Semakin baik
proses penerapan manajemen di koperasi maka semakin
baik pula penerapan
sistim renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar
pemberian kompensasi
dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada
tiga koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim renumerasi yang
jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi yang diterima
oleh karyawan koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, beban kerja
dan pengalaman yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang diberikan oleh
perusahaan swasta relatif masih lebih rendah.
Oman Hadipermana (2007)
dari hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung mengemukakan bahwa
terjadinya ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan karena kompensasi yang
diterima belum sesuai dengan beban kerjanya. Adanya perasaan tidak puas dan
tidak adil dari para karyawan akan menyebabkan hal-hal
yang kurang baik bagi
pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin (1993) disebabkan
karena adanya gap antara harapan karyawan dengan kenyataan yang diperolehnya
dari organisasi tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar,
2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja dari hasil penelitiannya di
Maluku Utara, menyimpulkan :
1. Terdapat
hubungan yang positif antara kompensasi dengan motivasi kerja karyawan. Artinya
meningkatnya aspek kompensasi akan disertai dengan peningkatan aspek motivasi
kerja karyawan. Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi kerja bagi karyawan
dipersepsikan pada kategori rendah sampai cukup saja.
2. Motivasi
kerja karyawan berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.Secara
parsial motivasi kerja berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh
kompensasi kerja secara langsung terhadap prestasi kerja. Artinya walaupun
kompensasi yang diterima karyawan KUD masih rendah, tetapi karyawan tetap
memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3. Kompensasi
kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama (simultan) berpengaruh positif
terhadap prestasi kerja karyawan.
Sejalan dengan
pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi kasus yang
dilakukan di Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpulan penting yang
diperoleh:
1. Secara
kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini ditunjukkan
oleh jumlah skor sebesar 58,33 persen yang masuk dalam criteria prestasi kerja
cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria kurang.
2. Secara
kualitatif prestasi kerja karyawan unit simpan pinjam juga masuk dalam kriteria
cukup saja.
Kesimpulan hasil-hasil
penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas kerja karyawan
koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan menurunkan
tingkat produktivitas koperasi.
Sementara itu, belum
ditemukan penelitian lain yang difokuskan kepada hubungan antara kompensasi,
motivasi dengan produktivitas kerja pengurus dan menejer koperasi. Kompensasi
bagi pengurus koperasi selain dalam bentuk honorarium atau insentif bulanan
juga dari bagian SHU dengan prosentasi tertentu. Manajer selain memperoleh gaji
bulanan juga ditambah dengan bonus atau bagian dari SHU. Dari pengamatan
lapangan ada indikasi sistim balas jasa bagi pengurus dan manajer kurang
transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih
besar dibandingkan
dengan rata-rata kompensasi yang diterima karyawan.
Sistem Karier
Pada umumnya sistim
karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan dibandingkan dengan
perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang diutarakan oleh para pengurus dan
manajer tentang masih buruknya sistim karier di koperasi adalah karena
keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya skala bisnis dan
kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir
konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variable kompensasi/renumerasi.
Dari aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan lembaga yang menjadi pilihan
yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar
tenaga kerja. Karyawan
yang saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan karena tidak
terserap oleh perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan koperasi masuk
dalam kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh BUMS dan BUMN
yang sudah mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua diserap oleh sektor
pegawai negeri.
Survey yang dilakukan
IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas Bina Nusantara,
Jakarta terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir
untuk menjadi Wirausaha
mandiri, menyimpulkan kurang dari 10 persen responden yang berminat menjadi
wirausaha, meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja. Selebihnya 90 persen
responden menyatakan tidak berminat dan memilih untuk menjadi pegawai. Pilihan menjadi
pegawai BUMN dan BUMS yang mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian
diikuti menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi
sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal kurikulum IKOPIN memuat misi mencetak
sarjana ekonomi untuk membangun perekonomian dengan koperasi sebagai bentuk
kelembagaan ideal bagi ekonomi kerakyatan.
Temuan lain
mengindikasikan bahwa kewenangan sentralistik pengurus
dalam proses rekruitmen
dan penempatan pegawai berdampak kepada tidak
transparannya sistim
karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan peluang kerja
termasuk pengembangan karier terindikasi kuat ditentukan oleh adanya hubungan
kekerabatan dengan pengurus. Alasan kemampuan financial koperasi nampaknya
bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula, sangat jarang
ditemukan adanya koperasi yang secara pro aktif memasang iklan di mass media
untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.
Efisiensi Usaha
Koperasi
Gambaran mengenai
tingkat rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel menunjukkan besaran yang
bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinyakoperasi masih menderita
kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE untuk koperasi di Indonesia
belum ada maka digunakan standar industri sebagai pembanding. Biasanya standar
industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya misalnya standar RE untuk usaha
perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha
pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen
keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito sebagai opportunity
cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang berlaku delapan persen
pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi tidak
efisien (terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data lapang
menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE yang
rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis
keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh
(2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran
Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di Majalengka, menemukan kondisi yang
lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2003, rata-rata RE koperasi
tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 -
0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih
dalam masa krisis.
Sebelum krisis, Lilis
Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan
Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi
di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992 sampai tahun 1996 berkisar
antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa ditemukan dalam penelitian
Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh Kualitas
Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas Koperasi. Dari hasil
penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang KSP rata-rata di
bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata
koperasi sampel memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik dibandingkan
dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.
Kondisi empirik
mengenai efisiensi biaya transaksi KSP rata-rata lebih rendah dibandingkan
dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh Sugiyanto (2006)
yang meneliti manfaat promosi ekonomi anggota pada KSP dan
koperasi kredit
(Kopdit) dalam bentuk efisiensi biaya pinjaman seperti biaya administrasi,
provisi dan asuransi. Efisiensi dihitung dari selisih antara biaya pinjaman
anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing koperasi.
Data juga menunjukkan
gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan
koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive advantage yang
ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91
persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan pengawasan terhadap
KSP dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif dibandingkan dengan
kegiatan bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun begitu, masih banyak
ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah kelemahan dari peraturan
yang ada.
Masalah efisiensi
koperasi di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia) telah menjadi bahan
diskusi panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel
(1985 ) mengkritisi
kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan oleh :
1. Dampak
koperasi terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari organisasi
koperasi, khususnya karena koperasi tidak banyak memberikan sumbangan dalam
mengatasi kemiskinan dan dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik
setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang miskin.
2. Jasa-jasa
pelayanan yang diberikan oleh organisasi koperasi seringkali dinilai tidak
efisien dan tidak mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan sebaliknya hanya
memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju dan kelompok-kelompok
tertentu.
3. Tingkat
efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terjadi
penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4. Tingkat
ofisialisasi yang yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi (khususnya
koperasi pertanian), ditandai dengan dukungan/bantuan dan pengawasan yang
terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan sama
seperti pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, ketimbang sebagai suatu
organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan berorientasi pada anggota.
5. Terdapat
kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan khususnya
kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah untuk
menunjang organisasi koperasi.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi
tentang upaya
meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai
berikut:
1. Organisasi
koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus
memberikan manfaat dan menghasilkan potensi peningkatan pelayanan yang cukup
bagi anggotanya.
2. Organisasi
koperasi harus efisien dan efektif bagi anggotanya, artinya setiap anggota akan
menilai manfaat partisipasi dalam usaha bersama lebih efektif untuk mencapai
kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3. Dalam
jangka panjang, anggota koperasi harus dapat menerima saldo positif antara
pemanfaatan (insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang diberikan
kepada koperasi.
4. Koperasi
harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang dihasilkan
oleh usaha bersama/koperasi menjadi milik umum. Artinya koperasi harus mampu
mencegah timbulnya dampak dari penumpang gelap (free riders) yang
terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.
Yuyun Wirasasmita
(1991) berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era
80-an dan 90-an, masih
belum banyak mengalami perubahan karena masih dalam
kondisi :
1. Fungsi
dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
2. Struktur
organisasi dan proses pengambilan keputusan sukar dimengerti dan dikontrol dan
dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3. Tujuan
koperasi dari sudut pandang anggota sering dianggap terlalu luas atau terlalu
sempit.
4. Karyawan
koperasi dan para manajer dalam menjalankan organisasi sangat tanggap terhadap
arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5. Fasilitas
koperasi terbuka juga bagi non anggota sehingga tidak ada perbedaan manfaat
yang diperoleh anggota dan non anggota.
Positioning Koperasi
Menghadapi globalisasi
dengan segala indikatornya, koperasi perlu melakukan repositioning baik
dalam hal perilaku dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya
meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius Roni Setiawan, 2002
dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran sumberdaya manusia
dilakukan dengan mengubah pemahaman organisasi tentang
peran sumberdaya
manusia yang semula dengan konsep people issues menjadi people
related business issues yang didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang selalu
dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.
Peran sumberdaya
manusia akan semakin dihargai terutama terkait dengan kompetensinya dalam
pengelolaan bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D.,
1997 (dalam Sugiyanto,
2008), menawarkan empat hal pokok yang berkenaan dengan peran sumberdaya
manusia, yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli
administrasi (administrative expert), menjadi pelopor/pejuang (employee
champion), dan menjadi agen perubahan (agent of change).
Hasil analisis
Sugiyanto (2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan
koperasi di Indonesia
pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian asset yang
diinvestasikan kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on Asset
(ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang
handal untuk mengelola bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua koperasi
memiliki manajer, hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu memiliki
manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar
Rp 435,614,-.
Rendahnya rata-rata
kinerja koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha (RE) secara empiris
berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari fungsi
perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang lemah
termasuk sistim renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang
diobservasi hanya dua
koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip
dan proses manajemen
dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga
hal ini karena koperasi
tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial, atau memiliki
pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki komitmen yang
tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi. Kedua faktor penyebab
secara simultan memiliki pengaruh dominan terhadap positioning koperasi yang
buruk.
Positioning koperasi
di era globalisasi perdagangan bebas hanya dapat dipertahankan bila koperasi
mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat ekonomi bagi anggotanya
melalui penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat disediakan koperasi bagi
anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan
partisipasi anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang K.
(1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan model matrik positioning koperasi
dari hubungan antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen dalam
menentukan keberhasilan koperasi untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
Tabel 3. Model Matrik
Positioning
Profesionalisme
manajemen/ Partisipasi anggota
|
Profesionalisme
tinggi
|
Profesionalisme
rendah
|
Partisipasi
anggota Tinggi
|
Koperasi
berkembang baik
|
Koperasi
berkembang lambat
|
Partisipasi
Anggota Rendah
|
Koperasi
mati pelan-pelan
|
Koperasi
mati dengan segera
|
Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto
(2006)
Apabila matriks ini
digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi
sampel yang
diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi
berkembang baik: 3 koperasi atau 33,33 persen (KPSBU Lembang, KSP Trisula
Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi
berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD Harapan
Tani).
3. Koperasi
mati pelan-pelan : 3 koperasi atau 33,33 persen (GKSI Jawa Barat, Puskud
Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi
mati dengan segera : 1 koperasi atau 11,1 persen (KUD Setia Tani,Sumatera
Utara).
Dari uraian ini
terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam
rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun
dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1) identifikasi
kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2) identifikasi
peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan
analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning;
dan,
(6) merancang strategi
pemasaran yang tepat (product, place, promotion dan price) atau strategi
bisnis.
Sejauh ini belum
terdapat fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang
telah melakukan positioning
ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan
sumberdaya, kelembagaan
maupun usahanya. Dengan demikian belum terdapat contoh best practice yang
dapat dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi lainnya. Koperasi di
Indonesia, nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan masalah internalnya.
V. Kesimpulan Dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil
kajian empiris ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi dilihat dari
perspektif ilmu manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah sebagai berikut :
1). Dari
sudut pandang disiplin ilmu manajemen bisnis, perubahan lingkungan bisnis
global mendorong organisasi koperasi untuk menerapkan disiplin ilmu manajemen
modern yang mendorong reformulasi tujuan dan strategi, restrukturisasi, dan
realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan
kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif tersebut praktek manajemen di
koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak relevan dengan
tuntutan jaman.
2).
Perkembangan koperasi di Indonesia yang cenderung lamban atau bahkan stagnant
ditengarai oleh kelemahan fundamental dalam penerapan fungsifungsi
manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses perencanaan berlangsung
tanpa mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan benar. Orientasi
perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi perencanaan
jangka panjang untuk mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Kondisi ini
menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan manfaat ekonomi yang
lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak yang tidak
efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi terkesan hanya
menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.
3). Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang
sudah semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang
mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada,
dapat diprediksi bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai
lembaga ekonomi. Hanya beberapa jenis koperasi seperti KSP (single purpose),
Kopdit, dan koperasi peternakan (single commodity multi purpose) yang
mampu bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Dari sudut kebijakan makro,
berkembangnya bisnis simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari ketatnya
regulasi dan pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan standarisasi
sistim pengelolaan.
4.2. Rekomendasi
1).
Pihak manajemen di koperasi dalam hal ini pengurus dan manajer harus
segera meninggalkan cara-cara lama (konvensional) dalam pengelolaan koperasi
dengan mengadopsi dan mengadaptasi manajemen bisnis modern. Melakukan
reformulasi tujuan koperasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan anggota yang
dinamis dan tuntutan persaingan.
2). Pihak manajemen di koperasi perlu
memperbaiki kinerja koperasi dengan mengembalikan peran dan funsi koperasi
yaitu kepada yang seharusnya yaitu koperasi yang berlandaskan dasar-dasar self
help (menolong diri sendiri), self relience (percaya diri), self responsibility
(bertanggung jawab atas dirinya), sehingga dengan demikian kaidah-kaidah koperasi
yaitu efisiensi secara keseluruhan dan khususnya dalam pelayanan anggota dapat
diciptakan.
3). Kebutuhan akan implementasi
manajemen modern di koperasi harus tumbuh dari lingkungan intrnal koperasi,
meskipun pada tahap awal pemerintah dapat bertindak sebagai agen perubahan
untuk memprakarsai proses perubahan sikap dan prilaku pihak manajemen koperasi
melakukan bencmarking manajemen modern dari berbagai sumber.
Nama / NPM : Frely Revalno
Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar