Oleh
:
Andjar Pachta Wirana’
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-39 No.1 Januari-Maret 2009
IV. Persaingan
Usaha Yang Sehat dan Usaha-Koperasi
A. Dasar-Hukum
Persaingan Usaha Yang Sehat
Perekonomian Negara Indonesia yang
dijalankan berdasarkan sistim demokrasi ekonomi, seyogyanya selalu menjaga
“keseimbangan” antara “kepentingan” para pelaku kegiatan ekonomi dan
“kepentingan umum”; artinya persaingan usaha yang terjadi antara mereka harus
dilakukan secara sehat dan tidak ada satu pihakpun diantara mereka itu yang
dapat ditolerir jika melakukan perbuatan “curang”. Berbuat “curang” dalam
pengertian Persaingan Usaha yang Sehat, diartikan sebagai: …tidak membuat
kartel atau “persekongkolah” untuk menguasai suatu sektor produksi tertentu
atau sebuah wilayah pangsa pasar tertentu dengan memonopoli. Sebagai ilustrasi,
dapat kita lihat kasus Microsoft Corporation di Pengadilan Distrik Negara bagian
Columbia.
Dalam kasus Microsoft tersebut diatas,
Pemerintah Amerika Serikat telah bertindak secara hukum terhadap (“mencegah”)
terjadinya perbuatan curang dan praktek monopoli dengan melaksanakan
ketentuan-hukum yang mengatur tentang perbuatan Praktek Monopoli di Negara
tersebut. Dengan adanya Ketentuan tersebut, Pemerintah secara formal kenegaraan
mempunyai kewenangan (berdasarkan hukum) untuk mengambil kebijakan (policy-making) dan sekaligus
melaksanakan kebijaksanaan (policy-executing)
dalam mencegah dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya monopoli dan
persaingan tidak sehat.
Di Indonesia dewasa ini, dengan adanya
Ketentuan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat,
Pemerintah R.I secara proaktip dapat bertindak sama seperti Pemerintah Amerika
Serikat terhadap kasus seperti Microsoft tersebut. Ini berarti, pemerintah
Republik Indonesia telah mempunyai landasan-hukum untuk membuat dan menjalankan
kebijakan terhadap perbuatan Praktek Monopoli dan Persaingan yang Tidak sehat;
perbuatan mana jelas dapat merugikan rakyat secara keseluruhan. Dengan dasar
ini pula Pemerintah R.I membutuhkan sebuah lembaga yang dapat melakukan
pengawasan, pengontrolan, dan dapat melakukan tindakan-hukum terhadap setiap
adanya praktek Monopoli tersebut; sekarang ini bentuknya sebagai sebuah Komisi
yang disebut Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Keberadaan Undang-Undang tersebut
diatas, secara-hukum telah melengkapi dan memperkuat amanat konstitusi Negara
yang “melindungi” pelaku ekonomi yang lemah dalam hal modal. Dengan adanya
kesempatan berusaha dan mendapat jaminan pelindungan dari Negara tersebut,
kelompok ekonomi yang bermodal lemah dapat turut serta melakukan usahanya
dengan bersaing secara wajar; dengan demikian memberi peluang kepada
berkembangnya ekonomi kerakyatan.
Dalam realitas sehari-hari, kegiatan
didalam dunia-usaha, adanya persaingan harus dipandang dari sudut positip.
Artinya, Konsep Persaingan-Usaha (yang sehat) harus dibaca dalam konteks
potensi melahirkan usahawan-usahawan yang kuat yang mampu dan tangguh-bersaing
karena menjalankan usahanya secara efisien. Mereka mampu menggali kreatifitas
dalam memproduksi maupun memberikan pelayanan yang berkwalitas (awal maupun
dalam era purna jual). Sampai pada titik ini, Konsumen juga pada akhirnya
mendapat untung; dalam arti mendapat produk yang bermutu tinggi dan pelayanan
purna-jual yang baik. Dengan demikian, baik jaminan mutu, pelayanan, dan lain
sebagainya, secara-hukum dan bisnis dapat dipertanggung-jawabkan.
B. Keberadaan
Badan-Usaha Koperasi dalam Perekonomian Indonesia
Keberadaan badan-usaha Koperasi
diwilayah negara Indonesia, tercantum didalam Konstitusi Negara Republik
Indonesia; dengan demikian, eksistensinya dijamin oleh Konstitusi. Dalam
memandang eksistensi badan-usaha Koperasi ini penyusun meminjam pendapat Prof.
Mubyarto yang mengatakan bahwa, … “secara teoritis, ilmu-ekonomi diberi
definisi sebagai suatu sistim yang menggambarkan perikehidupan manusia
sehari-hari; dalam rangka usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya…”.
Sebagaimana kita alami sehari-hari,
bahwa “kebutuhan” yang disebut Mubyarto ini dalam konteks dan lingkup aspek
material, aspek moral, maupun aspek sosial-budaya. Selanjutnya, dalam
kesempatan lain Mubyarto ditahun 1989, menyebutkan bahwa di Indonesia dikenal ada tiga kelompok organisansi-ekonomi atau
badan-usaha yaitu: Pertama, sektor ekonomi-negara; yang berorientasi pada
pelayanan kepada kepentingan-umum dan rakyat-rakyat; Kedua, sektor
ekonomi-swasta; yang berorientasi pada menjalankan usaha untuk memupuk
keuntungan-maksimal: Ketiga, sektor ekonomi-Koperasi,
yang berorientasi pada kerjasama dengan asas kekeluargaan, untuk memperjuangkan
dan memajukan tingkat perekonomian para anggotanya…”.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian
atas tiga-sektor perekonomian diatas belum dapat membeikan ruang kepada sektor
informal lainnya yang tidak terdaftar; seperti usaha kecil “pedagang kaki-lima
(PKL)” atau usaha kecil yang lainnya yang secara fakta memberikan tempat kepada
“geliat” aktifitas-ekonomi riel yang dilakukan oleh mayoritas rakyat-kecil
dewasa ini. Sektor-sektor perekonomian informal ini, -dilihat secara holistik
dalam praktek-, saling melengkapi satu sama-lainnya; dimana mereka ternyata
merupakan -derivative- kesatuan dalam
sistim-ekonomi bersekala-besar maupun bersekala-kecil.
Dengan demikian, adanya usaha-besar dan
usaha-kecil yang mempunyai porsi-usaha masing-masing ternyata dapat hidup
bersama, berdampingan dan saling melengkapi. Banyak contoh-contoh lain yang
dapat kita temukan sehari-hari disekeliling kehidupan kita dengan masing-masing
fungsinya sehingga secara holistik merupakan “kesatuan”: lebih jauh, dari sudut
“berusaha”, secara tidak sadar diantara mereka yang berada dalam kesatuan ini,
dalam pengertian fungsionalisasi, telah menghasilkan “pemerataan” kesempatan
untuk berusaha.
Berbicara mengenai fungsionalisasi,
lembaga Koperasi dapat secara praktis menjadi wadah dan kendaraan untuk menuju
ke “pemerataan” kesempatan berusaha. Mengenai apakah pemerataan kesempatan ini
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Koperasi, tergantung dari sukses atau
tidaknya para Pengurus Koperasi yang bersangkutan membangun jaringan-organisasi
dan jaringan-bisnis secara luas dalam kurun waktu yang direncanakan. Kegagalan
dalam membentuk dan membangun jaringan-usaha, membawa efek yang luas terhadap
kelangsungan usaha dari Koperasi yang bersangkutan. Sehingga, dapat dikatakan
bahwa “jaringan” yang kita bicarakan ini merupakan tolok-ukur dalam
keberhasilan membentuk “kerjasama” yang saling menguntungkan antara Koperasi yang
telah mapan usahanya dengan Koperasi-Koperasi yang masih lemah; atau secara
luas jaringan-usaha dengan badan-usaha lain yang non-koperasi.
Dalam kaitannya dengan Pilar Ekonomi
Nasional, maka falsafah yang dipakai sebagai dasar untuk membangun “jaringan”
lembaga-lembaga badan-usaha Koperasi baik antara Koperasi yang bergerak dalam
bidang usaha sejenis maupun yang tidak sejenis dan baik yang primer maupun
sekunder, adalah: “kebersamaan” dan “saling percaya-mempercayai”.
Dengan asumsi kondisi dan dengan situasi
yang demikian dari sudut, “jaringan-pasar” yang terbentuk, dapat menjadi
pengaruh nyata dalam pembentukan struktur pasar; dimana unsur-unsur dari
tiga-pilar pasar: produsen, pedagang, dan konsumen “bertemu” dalam memenuhi
kepentingan mereka masing-masing. Apakah akan terjadi “penguasaan” pasar;
disinilah memerlukan sebuah sistim-pengaturan yang jelas dan “tindakan” yang
tegas agar keberadaan tiga-unsur pasar tadi (selalu) dalam kondisi bersaing
secara sehat.
C. Konsep
Persaingan-Usaha yang Sehat
Konsep Persaingan-Usaha yang Sehat,
berisi tiga-hal pokok sekaligus dijadikan objek yang “dilarang”; yang dijadikan
“wilayah” untuk melihat: apakah ada persaingan usaha yang tidak sehat. Pertama,
lingkup-kesepakatan, persekongkolan atau perjanjian; Kedua,
lingkup-kegiatan; dan Ketiga, lingkup-dominasi.
Dewasa ini, tiga lingkup-wilayah
tersebut telah terakomodasikan didalam ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain: Pertama,
adalah lingkup Perjanjian yang
Dilarang; a.l, yang meliputi (1). Oligopoli;
(2). Penetapan Harga; kemudian, (3).
Pembagian Wilayah; dan Pemboikotan. Lebih lanjut, adalah; Kartel; kemudian berbentuk Trust.,
selanjutnya Ologoposoni;
Lebih lanjut, ada Integrasi-Vertikal;
Perjanjian Tertutup; dan Perjanjian dengan Pihak Luar-Negeri.
Disampingn lingkup Perjanjian yang
Dilarang diatas, Kedua., adalah lingkup Kegiatan
yang Dilarang. Dalam lingkup ini, ada 4 (empat) Kegiatan yang Dilarang,
yaitu: (a). Kegiatan Monopoli; (b). Monopsoni; (c). Penguasaan Pasar ; (d). Persekongkolan.
Selanjutnya Ketiga, adalah mengenai
Posisi Dominan yang meliputi: (a). Jabatan Rangkap, (b). Pemilikan Saham. (c).
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Ada dua instrumen yang lazim dipakai
dalam menentukan kebijakan untuk mengatur tentang Persaingan-Usaha; instrumen pertama,
Kebijakan Struktural, dan instrumen kedua, Kebijakan perilaku48.
Dua kebijakan yang dijadikan instrumen untuk “mengatur” jalur persaingan sehat
tersebut apabila diterapkan dalam praktek dapat saja mendistorsi kegiatn usaha.
Padahal, dalam keadaan situasi pasar seimbang, dimana posisi konsumen dan
produsen berkedudukan sama dalam arti seimbang, maka sebetulnya persaingan usaha
yang sehat akan terjadi dengan sendirinya. Dengan demikian, yang perlu dijaga
dan diciptakan adalah situasi keseimbangan antara posisi kepentingan dari dua
pihak diatas. Selanjutnya, apabila keseimbangan ini dapat tetap dijaga, maka
para produsen dan konsumen sendiri yang akan memetik keuntungannya; dan khusus
untuk produsen, adanya persaingan usaha yang sehat tersebut mendorong kondisi
pasar tetap terjaga seimbang.
Jadi, Konsep Persaingan-Usaha yang Sehat
yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1999 itu adalah menjaga harmonisasi atau
keseimbangan antara para produsen (termasuk: distributor dan para pedagangnya)
dengan konsumen. Khusus untuk Produsen, adanya konsep persaingan-usaha yang
sehat dapat dijadikan faktor “pendorong” untuk lebih berprestasi dalam hal:
kwalitas, kreatifitas, pelayanan, dan efisiensi. Sedangkan untuk Konsumen,
keuntungannya adalah adanya jaminan dari produsen dalam hal: kwalitas, tersedia
pelayanan yang baik, serta harga pantas yang sesuai dengan kwalitas.
D. Persaingan-Usaha
yang Sehat dan Badan-Usaha Koperasi
Sekarang timbul pertanyaan, adakah
manfaat dari persaingan-usaha yang sehat ini terhadap badan-usaha lain
khususnya Koperasi? Kemudian, mengapa pula ketentuan yang mengatur tentang
persaingan-usaha yang tidak sehat memberikan “pengecualian” kepada badan-usaha
koperasi?
Manfaat utama dari adanya ketentuan
hukum tentang persaingan yang sehat terhadap koperasi secara langsung adalah
memberikan “kesempatan” untuk menjalankan usaha seluas mungkin demi
meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan para anggotanya.
Seperti dikatakan diatas, bahwa konsep
persaingan-usaha yang sehat ini secara nyata dapat dilihat dan dirasakan baik
oleh produsen maupun konsumen; dalam pengertian hukum dijabarkan sebagai
“mencegah” terjadinya perbuatan curang. Kalaupun terjadi perbuatan curang, maka
telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksinya.
Khusus untuk Koperasi (yang umumnya
mempunyai kemampuan modal yang terbatas), adanya situasi persaingan yang sehat,
membuka kesempatan yang luas kepadanya untuk dapat ikut masuk kedalam kancah
aktivitas membuka dan menjalankan usaha. Tambahan lagi, dengan adanya ketentuan
tentang larangan persaingan usaha yang tidak sehat tersebut telah memberikan
ruang pengecualian terhadap badan-usaha koperasi yang melayani
“kebutuhan” para anggotanya.
Dengan demikian badan-usaha Koperasi
–dilapangan seharusnya- dapat melakukan kegiatan usaha apa saja yang terbuka;
asalkan mampu untuk melakukannya dalam arti menerapkan prinsip-prinsip ekonomi
dalam menjalankan usaha.
Pengecualian terhadap Koperasi dalam
ketentuan tentang Persaingan-Usaha yang Tidak Sehat tersebut mempunyai
“benang-merah” dari amanat Konstitusi Negara seperti yang dirumuskan dalam
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Koperasi secara legal dapat menjalankan
usaha dengan baik tanpa khawatir dengan larangan praktek monopoli seperti
diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 serta tidak menutup persaingan yang sehat.
Perlakuan khusus terhadap koperasi
tersebut telah tercantum dalam konstitusi kita khususnya tentang penataan
perekonomian nasional yang menjadikan koperasi sebagai salah satu sokoguru.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini harus konsisten kepada amanat konstitusi
tentan sistem dan tingkah-laku para pelaku ekonomi secara keseluruhan dalam
menjalankan perekonomian nasional.
Nama / NPM : Frely Revalno
Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar