syalom


widget

welcome


widget

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW 3: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGECUALIAN-TERHADAP BADAN USAHA KOPERASI


Oleh :
Andjar Pachta Wirana’
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1 Januari-Maret 2009


IV.  Persaingan Usaha Yang Sehat dan Usaha-Koperasi
A.     Dasar-Hukum Persaingan Usaha Yang Sehat
Perekonomian Negara Indonesia yang dijalankan berdasarkan sistim demokrasi ekonomi, seyogyanya selalu menjaga “keseimbangan” antara “kepentingan” para pelaku kegiatan ekonomi dan “kepentingan umum”; artinya persaingan usaha yang terjadi antara mereka harus dilakukan secara sehat dan tidak ada satu pihakpun diantara mereka itu yang dapat ditolerir jika melakukan perbuatan “curang”. Berbuat “curang” dalam pengertian Persaingan Usaha yang Sehat, diartikan sebagai: …tidak membuat kartel atau “persekongkolah” untuk menguasai suatu sektor produksi tertentu atau sebuah wilayah pangsa pasar tertentu dengan memonopoli. Sebagai ilustrasi, dapat kita lihat kasus Microsoft Corporation di Pengadilan Distrik Negara bagian Columbia.
Dalam kasus Microsoft tersebut diatas, Pemerintah Amerika Serikat telah bertindak secara hukum terhadap (“mencegah”) terjadinya perbuatan curang dan praktek monopoli dengan melaksanakan ketentuan-hukum yang mengatur tentang perbuatan Praktek Monopoli di Negara tersebut. Dengan adanya Ketentuan tersebut, Pemerintah secara formal kenegaraan mempunyai kewenangan (berdasarkan hukum) untuk mengambil kebijakan (policy-making) dan sekaligus melaksanakan kebijaksanaan (policy-executing) dalam mencegah dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya monopoli dan persaingan tidak sehat.
Di Indonesia dewasa ini, dengan adanya Ketentuan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat, Pemerintah R.I secara proaktip dapat bertindak sama seperti Pemerintah Amerika Serikat terhadap kasus seperti Microsoft tersebut. Ini berarti, pemerintah Republik Indonesia telah mempunyai landasan-hukum untuk membuat dan menjalankan kebijakan terhadap perbuatan Praktek Monopoli dan Persaingan yang Tidak sehat; perbuatan mana jelas dapat merugikan rakyat secara keseluruhan. Dengan dasar ini pula Pemerintah R.I membutuhkan sebuah lembaga yang dapat melakukan pengawasan, pengontrolan, dan dapat melakukan tindakan-hukum terhadap setiap adanya praktek Monopoli tersebut; sekarang ini bentuknya sebagai sebuah Komisi yang disebut Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Keberadaan Undang-Undang tersebut diatas, secara-hukum telah melengkapi dan memperkuat amanat konstitusi Negara yang “melindungi” pelaku ekonomi yang lemah dalam hal modal. Dengan adanya kesempatan berusaha dan mendapat jaminan pelindungan dari Negara tersebut, kelompok ekonomi yang bermodal lemah dapat turut serta melakukan usahanya dengan bersaing secara wajar; dengan demikian memberi peluang kepada berkembangnya ekonomi kerakyatan.
Dalam realitas sehari-hari, kegiatan didalam dunia-usaha, adanya persaingan harus dipandang dari sudut positip. Artinya, Konsep Persaingan-Usaha (yang sehat) harus dibaca dalam konteks potensi melahirkan usahawan-usahawan yang kuat yang mampu dan tangguh-bersaing karena menjalankan usahanya secara efisien. Mereka mampu menggali kreatifitas dalam memproduksi maupun memberikan pelayanan yang berkwalitas (awal maupun dalam era purna jual). Sampai pada titik ini, Konsumen juga pada akhirnya mendapat untung; dalam arti mendapat produk yang bermutu tinggi dan pelayanan purna-jual yang baik. Dengan demikian, baik jaminan mutu, pelayanan, dan lain sebagainya, secara-hukum dan bisnis dapat dipertanggung-jawabkan.

B. Keberadaan Badan-Usaha Koperasi dalam Perekonomian Indonesia
Keberadaan badan-usaha Koperasi diwilayah negara Indonesia, tercantum didalam Konstitusi Negara Republik Indonesia; dengan demikian, eksistensinya dijamin oleh Konstitusi. Dalam memandang eksistensi badan-usaha Koperasi ini penyusun meminjam pendapat Prof. Mubyarto yang mengatakan bahwa, … “secara teoritis, ilmu-ekonomi diberi definisi sebagai suatu sistim yang menggambarkan perikehidupan manusia sehari-hari; dalam rangka usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya…”.
Sebagaimana kita alami sehari-hari, bahwa “kebutuhan” yang disebut Mubyarto ini dalam konteks dan lingkup aspek material, aspek moral, maupun aspek sosial-budaya. Selanjutnya, dalam kesempatan lain Mubyarto ditahun 1989, menyebutkan bahwa di Indonesia dikenal ada tiga kelompok organisansi-ekonomi atau badan-usaha yaitu: Pertama, sektor ekonomi-negara; yang berorientasi pada pelayanan kepada kepentingan-umum dan rakyat-rakyat; Kedua, sektor ekonomi-swasta; yang berorientasi pada menjalankan usaha untuk memupuk keuntungan-maksimal: Ketiga, sektor ekonomi-Koperasi, yang berorientasi pada kerjasama dengan asas kekeluargaan, untuk memperjuangkan dan memajukan tingkat perekonomian para anggotanya…”.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian atas tiga-sektor perekonomian diatas belum dapat membeikan ruang kepada sektor informal lainnya yang tidak terdaftar; seperti usaha kecil “pedagang kaki-lima (PKL)” atau usaha kecil yang lainnya yang secara fakta memberikan tempat kepada “geliat” aktifitas-ekonomi riel yang dilakukan oleh mayoritas rakyat-kecil dewasa ini. Sektor-sektor perekonomian informal ini, -dilihat secara holistik dalam praktek-, saling melengkapi satu sama-lainnya; dimana mereka ternyata merupakan -derivative- kesatuan dalam sistim-ekonomi bersekala-besar maupun bersekala-kecil.
Dengan demikian, adanya usaha-besar dan usaha-kecil yang mempunyai porsi-usaha masing-masing ternyata dapat hidup bersama, berdampingan dan saling melengkapi. Banyak contoh-contoh lain yang dapat kita temukan sehari-hari disekeliling kehidupan kita dengan masing-masing fungsinya sehingga secara holistik merupakan “kesatuan”: lebih jauh, dari sudut “berusaha”, secara tidak sadar diantara mereka yang berada dalam kesatuan ini, dalam pengertian fungsionalisasi, telah menghasilkan “pemerataan” kesempatan untuk berusaha.
Berbicara mengenai fungsionalisasi, lembaga Koperasi dapat secara praktis menjadi wadah dan kendaraan untuk menuju ke “pemerataan” kesempatan berusaha. Mengenai apakah pemerataan kesempatan ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Koperasi, tergantung dari sukses atau tidaknya para Pengurus Koperasi yang bersangkutan membangun jaringan-organisasi dan jaringan-bisnis secara luas dalam kurun waktu yang direncanakan. Kegagalan dalam membentuk dan membangun jaringan-usaha, membawa efek yang luas terhadap kelangsungan usaha dari Koperasi yang bersangkutan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa “jaringan” yang kita bicarakan ini merupakan tolok-ukur dalam keberhasilan membentuk “kerjasama” yang saling menguntungkan antara Koperasi yang telah mapan usahanya dengan Koperasi-Koperasi yang masih lemah; atau secara luas jaringan-usaha dengan badan-usaha lain yang non-koperasi.
Dalam kaitannya dengan Pilar Ekonomi Nasional, maka falsafah yang dipakai sebagai dasar untuk membangun “jaringan” lembaga-lembaga badan-usaha Koperasi baik antara Koperasi yang bergerak dalam bidang usaha sejenis maupun yang tidak sejenis dan baik yang primer maupun sekunder, adalah: “kebersamaan” dan “saling percaya-mempercayai”.
Dengan asumsi kondisi dan dengan situasi yang demikian dari sudut, “jaringan-pasar” yang terbentuk, dapat menjadi pengaruh nyata dalam pembentukan struktur pasar; dimana unsur-unsur dari tiga-pilar pasar: produsen, pedagang, dan konsumen “bertemu” dalam memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Apakah akan terjadi “penguasaan” pasar; disinilah memerlukan sebuah sistim-pengaturan yang jelas dan “tindakan” yang tegas agar keberadaan tiga-unsur pasar tadi (selalu) dalam kondisi bersaing secara sehat.

C. Konsep Persaingan-Usaha yang Sehat
Konsep Persaingan-Usaha yang Sehat, berisi tiga-hal pokok sekaligus dijadikan objek yang “dilarang”; yang dijadikan “wilayah” untuk melihat: apakah ada persaingan usaha yang tidak sehat. Pertama, lingkup-kesepakatan, persekongkolan atau perjanjian; Kedua, lingkup-kegiatan; dan Ketiga, lingkup-dominasi.
Dewasa ini, tiga lingkup-wilayah tersebut telah terakomodasikan didalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain: Pertama, adalah lingkup Perjanjian yang Dilarang; a.l, yang meliputi (1). Oligopoli; (2). Penetapan Harga; kemudian, (3). Pembagian Wilayah; dan Pemboikotan. Lebih lanjut, adalah; Kartel; kemudian berbentuk Trust., selanjutnya Ologoposoni;
Lebih lanjut, ada Integrasi-Vertikal; Perjanjian Tertutup; dan Perjanjian dengan Pihak Luar-Negeri.
Disampingn lingkup Perjanjian yang Dilarang diatas, Kedua., adalah lingkup Kegiatan yang Dilarang. Dalam lingkup ini, ada 4 (empat) Kegiatan yang Dilarang, yaitu: (a). Kegiatan Monopoli; (b). Monopsoni; (c). Penguasaan Pasar ; (d). Persekongkolan.
Selanjutnya Ketiga, adalah mengenai Posisi Dominan yang meliputi: (a). Jabatan Rangkap, (b). Pemilikan Saham. (c). Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Ada dua instrumen yang lazim dipakai dalam menentukan kebijakan untuk mengatur tentang Persaingan-Usaha; instrumen pertama, Kebijakan Struktural, dan instrumen kedua, Kebijakan perilaku48. Dua kebijakan yang dijadikan instrumen untuk “mengatur” jalur persaingan sehat tersebut apabila diterapkan dalam praktek dapat saja mendistorsi kegiatn usaha. Padahal, dalam keadaan situasi pasar seimbang, dimana posisi konsumen dan produsen berkedudukan sama dalam arti seimbang, maka sebetulnya persaingan usaha yang sehat akan terjadi dengan sendirinya. Dengan demikian, yang perlu dijaga dan diciptakan adalah situasi keseimbangan antara posisi kepentingan dari dua pihak diatas. Selanjutnya, apabila keseimbangan ini dapat tetap dijaga, maka para produsen dan konsumen sendiri yang akan memetik keuntungannya; dan khusus untuk produsen, adanya persaingan usaha yang sehat tersebut mendorong kondisi pasar tetap terjaga seimbang.
Jadi, Konsep Persaingan-Usaha yang Sehat yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1999 itu adalah menjaga harmonisasi atau keseimbangan antara para produsen (termasuk: distributor dan para pedagangnya) dengan konsumen. Khusus untuk Produsen, adanya konsep persaingan-usaha yang sehat dapat dijadikan faktor “pendorong” untuk lebih berprestasi dalam hal: kwalitas, kreatifitas, pelayanan, dan efisiensi. Sedangkan untuk Konsumen, keuntungannya adalah adanya jaminan dari produsen dalam hal: kwalitas, tersedia pelayanan yang baik, serta harga pantas yang sesuai dengan kwalitas.

D.     Persaingan-Usaha yang Sehat dan Badan-Usaha Koperasi
Sekarang timbul pertanyaan, adakah manfaat dari persaingan-usaha yang sehat ini terhadap badan-usaha lain khususnya Koperasi? Kemudian, mengapa pula ketentuan yang mengatur tentang persaingan-usaha yang tidak sehat memberikan “pengecualian” kepada badan-usaha koperasi?
Manfaat utama dari adanya ketentuan hukum tentang persaingan yang sehat terhadap koperasi secara langsung adalah memberikan “kesempatan” untuk menjalankan usaha seluas mungkin demi meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan para anggotanya.
Seperti dikatakan diatas, bahwa konsep persaingan-usaha yang sehat ini secara nyata dapat dilihat dan dirasakan baik oleh produsen maupun konsumen; dalam pengertian hukum dijabarkan sebagai “mencegah” terjadinya perbuatan curang. Kalaupun terjadi perbuatan curang, maka telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksinya.
Khusus untuk Koperasi (yang umumnya mempunyai kemampuan modal yang terbatas), adanya situasi persaingan yang sehat, membuka kesempatan yang luas kepadanya untuk dapat ikut masuk kedalam kancah aktivitas membuka dan menjalankan usaha. Tambahan lagi, dengan adanya ketentuan tentang larangan persaingan usaha yang tidak sehat tersebut telah memberikan ruang pengecualian terhadap badan-usaha koperasi yang melayani “kebutuhan” para anggotanya.
Dengan demikian badan-usaha Koperasi –dilapangan seharusnya- dapat melakukan kegiatan usaha apa saja yang terbuka; asalkan mampu untuk melakukannya dalam arti menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dalam menjalankan usaha.
Pengecualian terhadap Koperasi dalam ketentuan tentang Persaingan-Usaha yang Tidak Sehat tersebut mempunyai “benang-merah” dari amanat Konstitusi Negara seperti yang dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Koperasi secara legal dapat menjalankan usaha dengan baik tanpa khawatir dengan larangan praktek monopoli seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 serta tidak menutup persaingan yang sehat.
Perlakuan khusus terhadap koperasi tersebut telah tercantum dalam konstitusi kita khususnya tentang penataan perekonomian nasional yang menjadikan koperasi sebagai salah satu sokoguru. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini harus konsisten kepada amanat konstitusi tentan sistem dan tingkah-laku para pelaku ekonomi secara keseluruhan dalam menjalankan perekonomian nasional.




Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar