Oleh
:
Andjar Pachta Wirana’
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-39 No.1 Januari-Maret 2009
V. Pembinaan
Badan-Usaha Koperasi dan Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha
A. Dasar
Hukum Pembinaan Badan-Usaha Koperasi
Dasar-Hukum Utama pembinaan Badan-Usaha
Koperasi adalah UUD 1945. Dengan demikian, di Negara kita Indonesia,
satu-satunya bangun-usaha yang mendapat mandat langsung dari konstitusi negara
adalah Koperasi. Mandat tersebut kemudian diimplementasikan secara teknis dan
kelembagaan dalam ketentuan perundang-undangan tentang perkoperasian yang
berlaku dewasa ini.
Kemudian, tidak cukup dengan dasar-hukum
saja; Politik ekonomi negara kita secara implisit maupun eksplisit memberikan
perlindungan dan perlakuan khusus kepada bangun-usaha Koperasi baik dalam
bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah secara langsung maupun tidak
langsung, maupun memberikan “perlakuan khusus” terhadap setiap lembaga ekonomi
yang diwujudkan dalam bentuk Koperasi. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
perwujudan nyata (secara juridis) dari politik-ekonomi negara yang berpihak
kepada ekonomi kerakyatan. Oleh sebab itu, salah satu dari perlakuan khusus
–yang dapat kita lihat- terhadap lembaga Koperasi adalah adanya “pengecualian”
seperti yang diatur didalam ketentuan perundang-undangan tentan
persaingan-usaha yang tidak sehat. Selanjutnya, berkaitan dengan adanya
perlakuan khusus tersebut, pemberian perlindungan juridis melalui peraturan
perundang-undangan adalah merupakan suatu bentuk nyata dari peran pemerintah
dalam membina dan mengembangkan usaha koperasi; hal ini dilakukan mengingat
sampai saat ini bangun-usaha dan badan-usaha koperasi belum berkembang dan
mendapat tempat seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi.
Lebih dalam lagi, secara pilosofis,
dasar-hukum pemberian perlakuan khusus kepada Koperasi tersebut merupakan
konsekwensi-logis dari konsep politik hukum-ekonomi kita tentang Koperasi
sebagai sokoguru perekonomian negara seperti yang diamanatkan oleh konstitusi.
Sehingga dalam kurun waktu dua-dekade tahun 1990an dan awal tahun 2000an, dapat
kita temukan banyak sekali kebijakan yuridis dan praktis yang telah diambil
Pemerintah untuk mengembangkan dan memajukan badan-usaha Koperasi.
B. Pengecualian
Sebagai Wujud Pembinaan dalam Iklim Persaingan Usaha yang Sehat]
Pemberian perlakuan khusus kepada
Koperasi yang disebut diatas membawa implikasi yuridis terhadap politik dan
sistem perekonomian nasional; dalam kontek konstruksi persaingan-usaha yang
sehat. Namun, dengan konsep perekonomian nasional yang disusun berdasarkan
prinsip kebersamaan seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, maka pengecualian
terhadap lembaga bangun-usaha Koperasi tersebut merupakan dasar yuridis-praktis
yang diletakkan Negara untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Koperasi
dalam nuansa menyusun dan membangun sistem perekonomian nasional.
Sampai dengan tahap pembinaan,
sosialisasi sistim perekonomian negara dan bangsa yang dikelola berdasarkan
sistim kekeluargaan perlu dilakukan secara intensif melalui lembaga-lembaga
pendidikan masyarakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Jadi
unsur pembinaan ini harus dimulai dari sudut konsep-dasar, yang antara lain meliputi:
pilosofi negara, dan budaya bangsa, serta adat istiadat (multicultoral dan
pluralisme) yang ada di Indonesia. Konsep ini merupakan modal-dasar dari
pembinaan perkoperasian di Indonesia dalam membangun dan memperluas pemahaman
tentang karakter perkoperasian yang berkarakter budaya bangsa Indonesia
sendiri. Dari sisi ini, dibangun rasa kepercayaan diri (baik selaku individu
maupun bangsa) dalam memupuk modal untuk menjalankan usaha bersama. Sedangkan
lembaga koperasi, dalam tahap ini merupakan suatu pilihan yang tepat dalam
mewujudkan konsep dasar tersebut. Dengan demikian, bangun usaha lain seperti
badan-badan usaha milik negara/daerah (yang sifatnya padat-modal) harus
dipandang sebagai keterlibatan Negara secara langsung dalam menjalankan usaha
untuk kemanfaatan rakyat-banyak, negara, dan bangsa; baik yang bersifat sebagai
pelayanan-umum maupun bangun produksi dan industri.
Dengan demikian, lembaga koperasi tidak
hanya dilihat dalam konteks normatif yuridis belaka, tetapi harus juga
dipandang dari konteks sosial-ekonomis. Dalam konteks terakhir ini, titik berat
usaha koperasi lebih ditekankan kepada aspek politik-ekonomi, sedangkan
membahas koperasi dari sudut normatif-yuridis akan muncul aspek lembaga dan
bidang-bidang usahanya. Oleh karena itu, pemerintah dalam rangka pembinaan,
dapat saja memberikan peluang kepada koperasi untuk mengembangkan usahanya
tidak saja hanya untuk melayani kebutuhan para anggotanya, tetapi dapat
diperluas kepelayanan umum untuk melayani kebutuhan riel masyarakat luas sepanjang
kepentingan para anggotanya tidak terabaikan. Disamping itu, pembentukan
lembaga koperasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tersebut,
merupakan konsekwensi logis dari perkembangan usaha koperasi. Sehingga, dengan
demikian, secara teknis dapat saja usaha dari sebuah koperasi itu berkembang
dengan mendiversifikasi usahanya, sesuai dengan perkembangan kebutuhan para
anggota dan masyarakat yang membutuhkannya.
Dalam kaitannya dengan iklim persaingan
usaha yang sehat yang harus dipelihara dalam sistim perekonomian negara dan
bangsa, harus dipandang dari sudut pilosofis: menjaga harmonisasi dan mencegah
penguasaan sektor-sektor ekonomi yang menyangkut kebutuhan langsung dari rakyat
banyak. Sehingga konsep-dasar ketentuan perundang-undangan persaingan usaha
yang sehat ini akan berfungsi menjaga harmonisasi dari konsep-perekonomian
bangsa dan negara secara holistik. Dengan demikian, sistim perekonomian Negara
Indonesia tidak hanya dipandang dari sudut sektoral belaka yang selama ini
menarik garis pemisah antar peran koperasi sebagai sistim, peran badan-badan
usaha Negara/daerah, dan peran lembaga-lembaga usaha yang dibangun oleh swasta.
Semua ketentuan hukum positip harus diciptakan untuk mengakomodasikan kondisi
dan situasi yang harmamoni. Untuk itulah peran ketentuan-ketentuan dalam bentuk
hukum positip dan peran negara selaku regulator dan pengawas harus berfungsi
maksimal.
Apabila konsep-dasar ini dapat
diwujudkan, mustahil timbul pertanyaan-yuridis: Apakah terhadap Koperasi yang
sudah menjadi Besar dan Kuat dalam arti modal dan jaringan-usaha, masih juga
mendapat pengecualian? Untuk menjawab pertanyaan ini, ketentuan tentang
Persaingan yang Sehat telah mengaturnya secara proporsional. Jadii praktis,
tidak perlu lagi ada keraguan dalam memandang lembaga koperasi yang besar
dengan ketentuan perundang-undangan tentang persaingan-usaha yang tidak sehat.
Sampai pada taraf ini, “pengecualian”
yang diberikan oleh regulator harus dibaca dalam kontek “membangun” kemakmuran
rakyat melalui sistim ekonomi koperasi; sedangkan wujud lembaganya adalah
Koperasi dalam fungsinya menjalankan usaha. Untuk itulah, tugas lanjutan dari
pemerintah selaku Pembina lembaga Koperasi untuk -secara konsisten- memberikan
porsi-porsi bidang-bidang usaha strategis yang hanya dapat dijalankan dan
dimiliki oleh badan-usaha Koperasi selaku lembaga.
C. Hambatan
Dalam Membina Badan-Usaha Koperasi
Hambatan yang selama ini dirasakan
secara umum dan menjadi penghalang dalam mengembangkan usaha koperasi dapat
disebabkan dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Secara internal,
umumnya dari sudut “kemampuan teknis” yang dimiliki oleh koperasi itu sendiri,
yang dapat meliputi faktor-faktor: menejemen, pengalaman, jaringan-usaha, modal
terbatas, serta kesadaran dari anggota baik secara individu maupun kolektif.
Sedangkan secara eksternal, umumnya berasal dari kebijakan pemerintah yang
sering tidak konsisten bahkan kontradiktif yang berakibat pada iklim yang tidak
kondusif bagi perkembangan usaha koperasi.
Hambatan yang berasal dari internal
koperasi, memang paling banyak kita temukan dimasyarakat. Dalam kasus ini,
faktor pendidikan dalam arti luas menjadi sangat diperlukan, disamping peran
pemerintah selaku Pembina (baik dalam konteks kelembagaan maupun dalam konteks
teknis operasional). Dengan pendidikan (walaupun memakan waktu dan biaya)
secara gradual, hambatan ini mustahil dapat dihilangkan.
Kemudian, hambatan yang berasal dari
faktor ekstenal koperasi antara lain: dapat berasal dari kalangan birokrat
pemerintah yang berwenang menentukan kebijakan. Terutama kebijakan dalam
memberikan porsi-porsi usaha tertentu –yang dapat atau telah dijalankan oleh
lembaga-usaha Koperasi- kepada badan-badan usaha non-koperasi. Secara empiris,
kasus adanya kebijakan yang memberikan “perlakuan khusus” kepada
lembaga-lembaga non-koperasi sering terjadi dilapangan; hanya karena adanya
faktor “ kedekatan” hubungan dengan individu pejabat dikalangan birokrasi
pemerintah.
Berdasarkan fakta tersebut, hambatan
dalam mewujudkan keseimbangan persaingan usaha bagi koperasi justru dilakukan
oleh kalangan pemerintah sendiri yang memberikan peluang-peluang usaha yang
sebetulnya telah dikembangkan oleh lembaga koperasi yang ada selama ini. Dengan
demikian, dalam kenyataan, memang sangat diperlukan konsistensi politik ekonomi
dan kemauan politik dari pemerintah sendiri yang dapat “menolong” terciptanya
perekonomian dengan konsep koperasi. Tanpa itu, semua yang selama ini di
“impikan”, tidak akan terwujud.
D. Peluang
Terciptanya Ekonomi Kerakyatan Dalam Konteks Koperasi Sebagai Sistim
Perekonomian
Pengecualian terhadap Koperasi yang
diberikan oleh ketentuan perundang-undangan tentang Persaingan Usaha yang
Sehat, harus dijadikan dasar yuridis dalam menciptakan peluang-peluang usaha
koperasi secara luas. Koperasi dapat menjadi lembaga usaha dalam sistem
perekonomian nasional. Karena, keberadaan koperasi baik sebagai sistem maupun
lembaga ekonomi dapat hadir dimasyarakat kebanyakan dalam arti strata sosial
paling bawah hingga distrata sosial tingkat atas dalam ukuran nasional bahkan
internasional. Dengan demikian, koperasi dapat menjadi wadah dan kendaraan
ekonomi rakyat dalam menciptakan tingkat kemakmuran sosial-ekonomi dari negara
dan bangsa. Perlakuan khusus tersebut diberikan dengan alasan yang sangat
mendasar, yaitu untuk memberikan kesempatan koperasi sebagai lembaga ekonomi
untuk masuk dalam kancah usaha; baik dibidang perdagangan, jasa, maupun
industri. Sehingga, dengan kondisi demikian, rakyat diberi kesempatan untuk
masuk disalah satu bidang-usaha itu maupun duduk sebagai konsumen.
Selanjutnya, apabila rakyat katakanlah
dari mereka yang berprofesi sebagai petani, dapat berkoperasi (misalnya dalam
KUD sebagai unit terkecil) atau dalam sekala lebih luas membentuk koperasi
dalam bidang komoditi sejenis yang menjalankan usaha perdagangan hasil
pertanian mereka (bergerak dalam koperasi pemasaran bersama atau lebih luas
lagi). Demikian seterusnya dapat diikuti oleh bidang-bidang usaha rakyat
lainnya seperti yang telah ada selama ini (ada KUD, Pertanian, Perikanan,
Nelayan, Pemasaran, Industri, dan, lain-lain) dapat segera direvitalisasi atau
jika belum ada lembaga koperasinya dapat didirikan koperasi-koperasi dalam arti
lembaga didalam “kerangka” suatu sistem perekonomian-koperasi.
Dengan demikian, peluang-peluang usaha
yang dapat dilakukan oleh koperasi selaku lembaga, masih terbuka luas. Yang
diperlukan untuk menangkap peluang ini tentunya harus diawali dengan “mimpi”
besar untuk menjadi besar. Memang, dukungan konkrit dan konsistensi dari para
penyelenggara Negara sangat diperlukan; tanpa ini proyek perekonomian koperasi
akan tidak saja terbengkalai, bahkan dapat menjadi kenangan sejarah belaka;
dalam arti kita secara bangsa gagal melaksanakan amanat konstitusi.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan diskusi di atas, ada empat
kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam diskusi terbatas ini, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, dalam kedudukan koperasi selaku
lembaga yang menjalankan usaha, maka bukan tidak mungkin pada suatu periode dan
situasi tertentu badan-usaha koperasi itu dapat masuk dalam kategori
menjalankan praktek monopoli. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut
dipenuhi, maka ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan
praktek melakukan usaha yang tidak sehat dapat berlaku;
Kedua, beberapa persyaratan yang di berikan
kepada lembaga usaha koperasi untuk dapat dikecualikan dari ketentuan Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat tersebut; antara lain
dari segi permodalan dan luas lingkup pelayanan yang diberikan oleh badan usaha
koperasi tersebut. Disamping itu, karena ketentuan Larangan Monopoli itu di
buat untuk menjaga harmonisasi kehidupan lembaga-lembaga usaha yang ada, maka
kreteria dan ukuran dari lembaga usaha kecil (UKM) dan koperasi memang harus
diperjelas dan di evaluasi dari waktu ke waktu;
Ketiga, mengingat bahwa lembaga usaha
koperasi merupakan usaha yang di bangun oleh kumpulan orang-orang (rakyat
kecil) yang mempunyai modal terbatas dalam rangka meningkatkan kemampuan
ekonomi anggotanya, maka pengecualian yang di berikan kepada badan-badan usaha
koperasi itu diawali dengan niat pemerintah dalam hal memberikan dasar yuridis
kepada lembaga-lembaga koperasi untuk mendapat kesempatan luas dalam memulai,
menjalankan, dan mengembangkan usahanya secara luas; terutama untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya;
Keempat, ada hal-hal yang sering menjadi
penghambat di lapangan dalam menjaga eksistensi usaha koperasi dan pengembangan
usahanya adalah sikap pemerintah yang sering mendua dalam mengeluarkan
kebijakan dengan memberikan porsi-porsi usaha yang sudah ditekuni dan
dijalankan dengan baik oleh koperasi kepada pendatang baru dari kalangan
lembaga usaha yang non-koperasi.
Nama / NPM : Frely Revalno
Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar