syalom


widget

welcome


widget

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW 4: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGECUALIAN-TERHADAP BADAN USAHA KOPERASI


Oleh :
Andjar Pachta Wirana’
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1 Januari-Maret 2009


V.     Pembinaan Badan-Usaha Koperasi dan Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha
A.     Dasar Hukum Pembinaan Badan-Usaha Koperasi
Dasar-Hukum Utama pembinaan Badan-Usaha Koperasi adalah UUD 1945. Dengan demikian, di Negara kita Indonesia, satu-satunya bangun-usaha yang mendapat mandat langsung dari konstitusi negara adalah Koperasi. Mandat tersebut kemudian diimplementasikan secara teknis dan kelembagaan dalam ketentuan perundang-undangan tentang perkoperasian yang berlaku dewasa ini.
Kemudian, tidak cukup dengan dasar-hukum saja; Politik ekonomi negara kita secara implisit maupun eksplisit memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada bangun-usaha Koperasi baik dalam bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, maupun memberikan “perlakuan khusus” terhadap setiap lembaga ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk Koperasi. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perwujudan nyata (secara juridis) dari politik-ekonomi negara yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan. Oleh sebab itu, salah satu dari perlakuan khusus –yang dapat kita lihat- terhadap lembaga Koperasi adalah adanya “pengecualian” seperti yang diatur didalam ketentuan perundang-undangan tentan persaingan-usaha yang tidak sehat. Selanjutnya, berkaitan dengan adanya perlakuan khusus tersebut, pemberian perlindungan juridis melalui peraturan perundang-undangan adalah merupakan suatu bentuk nyata dari peran pemerintah dalam membina dan mengembangkan usaha koperasi; hal ini dilakukan mengingat sampai saat ini bangun-usaha dan badan-usaha koperasi belum berkembang dan mendapat tempat seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi.
Lebih dalam lagi, secara pilosofis, dasar-hukum pemberian perlakuan khusus kepada Koperasi tersebut merupakan konsekwensi-logis dari konsep politik hukum-ekonomi kita tentang Koperasi sebagai sokoguru perekonomian negara seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Sehingga dalam kurun waktu dua-dekade tahun 1990an dan awal tahun 2000an, dapat kita temukan banyak sekali kebijakan yuridis dan praktis yang telah diambil Pemerintah untuk mengembangkan dan memajukan badan-usaha Koperasi.


B.      Pengecualian Sebagai Wujud Pembinaan dalam Iklim Persaingan Usaha yang Sehat]
Pemberian perlakuan khusus kepada Koperasi yang disebut diatas membawa implikasi yuridis terhadap politik dan sistem perekonomian nasional; dalam kontek konstruksi persaingan-usaha yang sehat. Namun, dengan konsep perekonomian nasional yang disusun berdasarkan prinsip kebersamaan seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, maka pengecualian terhadap lembaga bangun-usaha Koperasi tersebut merupakan dasar yuridis-praktis yang diletakkan Negara untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Koperasi dalam nuansa menyusun dan membangun sistem perekonomian nasional.
Sampai dengan tahap pembinaan, sosialisasi sistim perekonomian negara dan bangsa yang dikelola berdasarkan sistim kekeluargaan perlu dilakukan secara intensif melalui lembaga-lembaga pendidikan masyarakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Jadi unsur pembinaan ini harus dimulai dari sudut konsep-dasar, yang antara lain meliputi: pilosofi negara, dan budaya bangsa, serta adat istiadat (multicultoral dan pluralisme) yang ada di Indonesia. Konsep ini merupakan modal-dasar dari pembinaan perkoperasian di Indonesia dalam membangun dan memperluas pemahaman tentang karakter perkoperasian yang berkarakter budaya bangsa Indonesia sendiri. Dari sisi ini, dibangun rasa kepercayaan diri (baik selaku individu maupun bangsa) dalam memupuk modal untuk menjalankan usaha bersama. Sedangkan lembaga koperasi, dalam tahap ini merupakan suatu pilihan yang tepat dalam mewujudkan konsep dasar tersebut. Dengan demikian, bangun usaha lain seperti badan-badan usaha milik negara/daerah (yang sifatnya padat-modal) harus dipandang sebagai keterlibatan Negara secara langsung dalam menjalankan usaha untuk kemanfaatan rakyat-banyak, negara, dan bangsa; baik yang bersifat sebagai pelayanan-umum maupun bangun produksi dan industri.
Dengan demikian, lembaga koperasi tidak hanya dilihat dalam konteks normatif yuridis belaka, tetapi harus juga dipandang dari konteks sosial-ekonomis. Dalam konteks terakhir ini, titik berat usaha koperasi lebih ditekankan kepada aspek politik-ekonomi, sedangkan membahas koperasi dari sudut normatif-yuridis akan muncul aspek lembaga dan bidang-bidang usahanya. Oleh karena itu, pemerintah dalam rangka pembinaan, dapat saja memberikan peluang kepada koperasi untuk mengembangkan usahanya tidak saja hanya untuk melayani kebutuhan para anggotanya, tetapi dapat diperluas kepelayanan umum untuk melayani kebutuhan riel masyarakat luas sepanjang kepentingan para anggotanya tidak terabaikan. Disamping itu, pembentukan lembaga koperasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tersebut, merupakan konsekwensi logis dari perkembangan usaha koperasi. Sehingga, dengan demikian, secara teknis dapat saja usaha dari sebuah koperasi itu berkembang dengan mendiversifikasi usahanya, sesuai dengan perkembangan kebutuhan para anggota dan masyarakat yang membutuhkannya.
Dalam kaitannya dengan iklim persaingan usaha yang sehat yang harus dipelihara dalam sistim perekonomian negara dan bangsa, harus dipandang dari sudut pilosofis: menjaga harmonisasi dan mencegah penguasaan sektor-sektor ekonomi yang menyangkut kebutuhan langsung dari rakyat banyak. Sehingga konsep-dasar ketentuan perundang-undangan persaingan usaha yang sehat ini akan berfungsi menjaga harmonisasi dari konsep-perekonomian bangsa dan negara secara holistik. Dengan demikian, sistim perekonomian Negara Indonesia tidak hanya dipandang dari sudut sektoral belaka yang selama ini menarik garis pemisah antar peran koperasi sebagai sistim, peran badan-badan usaha Negara/daerah, dan peran lembaga-lembaga usaha yang dibangun oleh swasta. Semua ketentuan hukum positip harus diciptakan untuk mengakomodasikan kondisi dan situasi yang harmamoni. Untuk itulah peran ketentuan-ketentuan dalam bentuk hukum positip dan peran negara selaku regulator dan pengawas harus berfungsi maksimal.
Apabila konsep-dasar ini dapat diwujudkan, mustahil timbul pertanyaan-yuridis: Apakah terhadap Koperasi yang sudah menjadi Besar dan Kuat dalam arti modal dan jaringan-usaha, masih juga mendapat pengecualian? Untuk menjawab pertanyaan ini, ketentuan tentang Persaingan yang Sehat telah mengaturnya secara proporsional. Jadii praktis, tidak perlu lagi ada keraguan dalam memandang lembaga koperasi yang besar dengan ketentuan perundang-undangan tentang persaingan-usaha yang tidak sehat.
Sampai pada taraf ini, “pengecualian” yang diberikan oleh regulator harus dibaca dalam kontek “membangun” kemakmuran rakyat melalui sistim ekonomi koperasi; sedangkan wujud lembaganya adalah Koperasi dalam fungsinya menjalankan usaha. Untuk itulah, tugas lanjutan dari pemerintah selaku Pembina lembaga Koperasi untuk -secara konsisten- memberikan porsi-porsi bidang-bidang usaha strategis yang hanya dapat dijalankan dan dimiliki oleh badan-usaha Koperasi selaku lembaga.

C.      Hambatan Dalam Membina Badan-Usaha Koperasi
Hambatan yang selama ini dirasakan secara umum dan menjadi penghalang dalam mengembangkan usaha koperasi dapat disebabkan dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Secara internal, umumnya dari sudut “kemampuan teknis” yang dimiliki oleh koperasi itu sendiri, yang dapat meliputi faktor-faktor: menejemen, pengalaman, jaringan-usaha, modal terbatas, serta kesadaran dari anggota baik secara individu maupun kolektif. Sedangkan secara eksternal, umumnya berasal dari kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten bahkan kontradiktif yang berakibat pada iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha koperasi.
Hambatan yang berasal dari internal koperasi, memang paling banyak kita temukan dimasyarakat. Dalam kasus ini, faktor pendidikan dalam arti luas menjadi sangat diperlukan, disamping peran pemerintah selaku Pembina (baik dalam konteks kelembagaan maupun dalam konteks teknis operasional). Dengan pendidikan (walaupun memakan waktu dan biaya) secara gradual, hambatan ini mustahil dapat dihilangkan.
Kemudian, hambatan yang berasal dari faktor ekstenal koperasi antara lain: dapat berasal dari kalangan birokrat pemerintah yang berwenang menentukan kebijakan. Terutama kebijakan dalam memberikan porsi-porsi usaha tertentu –yang dapat atau telah dijalankan oleh lembaga-usaha Koperasi- kepada badan-badan usaha non-koperasi. Secara empiris, kasus adanya kebijakan yang memberikan “perlakuan khusus” kepada lembaga-lembaga non-koperasi sering terjadi dilapangan; hanya karena adanya faktor “ kedekatan” hubungan dengan individu pejabat dikalangan birokrasi pemerintah.
Berdasarkan fakta tersebut, hambatan dalam mewujudkan keseimbangan persaingan usaha bagi koperasi justru dilakukan oleh kalangan pemerintah sendiri yang memberikan peluang-peluang usaha yang sebetulnya telah dikembangkan oleh lembaga koperasi yang ada selama ini. Dengan demikian, dalam kenyataan, memang sangat diperlukan konsistensi politik ekonomi dan kemauan politik dari pemerintah sendiri yang dapat “menolong” terciptanya perekonomian dengan konsep koperasi. Tanpa itu, semua yang selama ini di “impikan”, tidak akan terwujud.

D.     Peluang Terciptanya Ekonomi Kerakyatan Dalam Konteks Koperasi Sebagai Sistim Perekonomian
Pengecualian terhadap Koperasi yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan tentang Persaingan Usaha yang Sehat, harus dijadikan dasar yuridis dalam menciptakan peluang-peluang usaha koperasi secara luas. Koperasi dapat menjadi lembaga usaha dalam sistem perekonomian nasional. Karena, keberadaan koperasi baik sebagai sistem maupun lembaga ekonomi dapat hadir dimasyarakat kebanyakan dalam arti strata sosial paling bawah hingga distrata sosial tingkat atas dalam ukuran nasional bahkan internasional. Dengan demikian, koperasi dapat menjadi wadah dan kendaraan ekonomi rakyat dalam menciptakan tingkat kemakmuran sosial-ekonomi dari negara dan bangsa. Perlakuan khusus tersebut diberikan dengan alasan yang sangat mendasar, yaitu untuk memberikan kesempatan koperasi sebagai lembaga ekonomi untuk masuk dalam kancah usaha; baik dibidang perdagangan, jasa, maupun industri. Sehingga, dengan kondisi demikian, rakyat diberi kesempatan untuk masuk disalah satu bidang-usaha itu maupun duduk sebagai konsumen.
Selanjutnya, apabila rakyat katakanlah dari mereka yang berprofesi sebagai petani, dapat berkoperasi (misalnya dalam KUD sebagai unit terkecil) atau dalam sekala lebih luas membentuk koperasi dalam bidang komoditi sejenis yang menjalankan usaha perdagangan hasil pertanian mereka (bergerak dalam koperasi pemasaran bersama atau lebih luas lagi). Demikian seterusnya dapat diikuti oleh bidang-bidang usaha rakyat lainnya seperti yang telah ada selama ini (ada KUD, Pertanian, Perikanan, Nelayan, Pemasaran, Industri, dan, lain-lain) dapat segera direvitalisasi atau jika belum ada lembaga koperasinya dapat didirikan koperasi-koperasi dalam arti lembaga didalam “kerangka” suatu sistem perekonomian-koperasi.
Dengan demikian, peluang-peluang usaha yang dapat dilakukan oleh koperasi selaku lembaga, masih terbuka luas. Yang diperlukan untuk menangkap peluang ini tentunya harus diawali dengan “mimpi” besar untuk menjadi besar. Memang, dukungan konkrit dan konsistensi dari para penyelenggara Negara sangat diperlukan; tanpa ini proyek perekonomian koperasi akan tidak saja terbengkalai, bahkan dapat menjadi kenangan sejarah belaka; dalam arti kita secara bangsa gagal melaksanakan amanat konstitusi.
VI.  Kesimpulan
Berdasarkan diskusi di atas, ada empat kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam diskusi terbatas ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama, dalam kedudukan koperasi selaku lembaga yang menjalankan usaha, maka bukan tidak mungkin pada suatu periode dan situasi tertentu badan-usaha koperasi itu dapat masuk dalam kategori menjalankan praktek monopoli. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut dipenuhi, maka ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan praktek melakukan usaha yang tidak sehat dapat berlaku;
Kedua, beberapa persyaratan yang di berikan kepada lembaga usaha koperasi untuk dapat dikecualikan dari ketentuan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat tersebut; antara lain dari segi permodalan dan luas lingkup pelayanan yang diberikan oleh badan usaha koperasi tersebut. Disamping itu, karena ketentuan Larangan Monopoli itu di buat untuk menjaga harmonisasi kehidupan lembaga-lembaga usaha yang ada, maka kreteria dan ukuran dari lembaga usaha kecil (UKM) dan koperasi memang harus diperjelas dan di evaluasi dari waktu ke waktu;
Ketiga, mengingat bahwa lembaga usaha koperasi merupakan usaha yang di bangun oleh kumpulan orang-orang (rakyat kecil) yang mempunyai modal terbatas dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi anggotanya, maka pengecualian yang di berikan kepada badan-badan usaha koperasi itu diawali dengan niat pemerintah dalam hal memberikan dasar yuridis kepada lembaga-lembaga koperasi untuk mendapat kesempatan luas dalam memulai, menjalankan, dan mengembangkan usahanya secara luas; terutama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya;
Keempat, ada hal-hal yang sering menjadi penghambat di lapangan dalam menjaga eksistensi usaha koperasi dan pengembangan usahanya adalah sikap pemerintah yang sering mendua dalam mengeluarkan kebijakan dengan memberikan porsi-porsi usaha yang sudah ditekuni dan dijalankan dengan baik oleh koperasi kepada pendatang baru dari kalangan lembaga usaha yang non-koperasi.





Nama / NPM              : Frely Revalno Saukoly / 22211967
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar